Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK nasional sebesar 26% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan dunia internasional pada tahun 2020 tidaklah main-main. Terbukti dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Selain itu dicanangkan pula target penurunan emisi GRK sebesar 0,767 Giga ton Co2-e.
Pemerintah kemudian melimpahkan sebagian besar target penurunan ini ke sektor Kehutanan dan Lahan Gambut, yaitu sebesar 0,672 Giga ton CO2-equivalen atau sebesar 87,60% dari target nasional. Kementerian Kehutanan memotori berbagai program untuk mencapai target penurunan emisi GRK 2020, diantaranya dengan memulai Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon Per Tahun (One Billion Indonesia’s Trees/OBIT) dan pengurangan deforestasi.
Program ini menjadi tumpuan karena pohon memang mesin alam atau jantung bumi yang mampu mengubah Karbondioksida (CO2) yang diserap dari udara menjadi Oksigen (O2) yang dilepas ke udara melalui proses fotosintesis. Agar kedua fungsi hutan ini berjalan optimal, Kementerian Kehutanan menggulirkan berbagai kebijakan seperti moratorium penerbitan izin baru konversi hutan alam primer dan lahan gambut, konservasi hutan, penegakan hukum dan pengendalian kebakaran hutan, pembalakan liar, penggunaan dan pelepasan kawasan hutan non prosedural dan penyelesaian konflik tenurial lahan hutan. Sementara upaya lain juga kerap dilakukan dengan meningkatkan daya serap karbon melalui rehabilitasi hutan dan penanaman pohon.
Tahukah Anda bahwa tak hanya berdampak aktif terhadap penyelamatan bumi, gerakan penanaman pohon ini juga mampu menopang pertumbuhan ekonomi atau yang lebih dikenal dengan istilah green economy? Simak saja kisah Ahmad yang sebelumnya berprofesi sebagai penghulu di Kampung Cugah, Lampung, mengaku bahwa pohon sengon yang ditanamnya sejak tujuh tahun yang lalu kini memiliki nilai jual yang tinggi, “Setiap meter kubik harganya sekitar Rp600.000-Rp700.000 di tempat. Padahal, saya tidak perlu melakukan perawatan. Jadi, harga tersebut jelas tinggi sekali,” jelasnya.
Berbagai kebijakan dan program tersebut berhasil menurunkan laju deforestasi cukup drastis yang pada periode tahun 1990-2000 mencapai angka tertinggi 3,51 juta hektar/tahun. Hingga kini, laju deforestasi yang tercatat berkurang menjadi 450 ribu hektar/tahun. Tidak hanya mampu menurunkan emisi dari sumbernya langsung, yaitu melalui pengurangan deforestasi, namun Kementerian Kehutanan juga mampu untuk menyerap Gas Rumah Kaca (GRK) sebagai Emission Sink atau Sequestration.
Mengacu pada data di periode 2000-2006, laju deforestasi sebesar 1,125 juta ha/tahun, sedangkan penurunan deforestasi hanya sebesar 0,675 juta ha/tahun. Jika asumsi potensi volume 1 ha adalah 197m3 setara dengan 725 ton CO2e, maka penurunan emisi yang terjadi akibat penurunan laju deforestasi tersebut adalah sebesar 0,489 Giga ton CO2e = 489 juta ton CO2e. Dengan kata lain hasil ini mencapai 63,8% dari target RAN-GRK Nasional (767 juta ton CO2e atau penurunan 26% pada 2020) yang telah ditetapkan dalam PERPRES No. 61 Tahun 2011.
Hasil membanggakan ini semakin diperkuat dengan Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon Per Tahun (One Billion Indonesia’s Trees/OBIT) yang menambah jumlah penurunan emisi. Total hasil penanaman pohon hingga Oktober 2013 sebanyak 5,54 Milyar pohon. Jumlah tersebut menyerap karbon sebanyak 44 juta ton CO2e yaitu 5,8 % dari target 767 juta ton CO2e (26% tahun 2020).
Dengan demikian jumlah penurunan emisi karbon dari hasil upaya penurunan deforestasi dan penanaman pohon mencapai angka 533 juta ton CO2e yaitu 69,4% dari target 2020.
Pencapaian ini membuat Indonesia semakin optimis memenuhi komitmen penurunan emisi lebih cepat dari target waktu yang ditetapkan. Mari kita terus mendukung program Kementerian Kehutanan demi kelangsungan kita bersama.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi situs http://www.dephut.go.id . (adv)