Pages

Hutan Kunci Bagi Sasaran Pembangunan

Hutan dunia memainkan perang penting dalam peralihan ke ekonomi hijau, tapi pemerintah perlu berbuat lebih banyak guna menjamin hutan tersebut dikelola secara berkelanjutan

Pelet Kayu, Bahan Bakar Alternatif Rendah Emisi

Penggunaan wood pellet (pelet kayu) sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil untuk industri besar, kecil, dan rumah tangga menghasilkan emisi lebih rendah dibandingkan dengan minyak tanah dan gas.

COP19 Warsawa : Indonesia Paparkan Inisiatif Hijau Dalam Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung

"Green Initiatives on Protected Forest, Production Forest and National Parks" COP-19/CMP-9 UNFCCC, Warsawa, Polandia (15/11/2013).

Forest Landscape Restoration: Enhancing more than carbon stocks

ITTO co-hosted a discussion forum on “Forest Landscape Restoration: Enhancing more than carbon stocks” at Forest Day 6, convened during UNFCCC COP18 in Doha, Qatar.

Tuesday, May 28, 2013

Perubahan iklim ganggu ketersediaan pangan

Malang (ANTARA News) - Pakar pertanian Universitas Brawijaya Malang, Prof Kurniatun Hairiah, menyatakan ketersediaan pangan akhir-akhir ini terganggu oleh adanya perubahan iklim.

"Perubahan iklim dapat berdampak langsung melalui perubahan biofisik dan sumber daya lahan terhadap produksi tanaman, baik tanaman pangan maupun nonpangan," kata Kurniatun di Malang, Kamis.



Selain perubahan iklim, katanya, menurunnya produktivitas tanaman pangan tersebut juga disebabkan oleh penciutan lahan karena peningkatan permukaan air laut.

Bahkan, lanjutnya, pada tahun 2050 diprediksi luas lahan sawah akan semakin menyusut karena tergenang atau tenggelam akibat muka air laut meningkat serta meningkatnya salinitas tanah.

Ia memperkirakan penurunan luas baku lahan sawah terbesar berada di Jawa, Bali dan Sulawesi. Perubahan iklim tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam perencanaan dan pengembangan wilayah, pendidikan, kesehatan akibat berkurangnya daya beli masyarakat terhadap produk pertanian.

Luas baku lahan sawah di Jawa dan Bali saat ini mencapai 3.309.264 hektare, tahun 2050 diprediksi akan menurun sekitar 5,52 persen yang berpengaruh terhadap hasil panen setara beras yang mencapai 1,932 juta ton.

Sementara di Sumatera yang memiliki luas baku lahan sawah 2.340.642 hektare, pada tahun 2050 diperkirakan menurun sekitar 0,01 persen atau 3.170 hektare dan kerugian mencapai 0,024 juta ton beras.

Untuk mengendalikan perubahan iklim tersebut, strategi dan kebijakan umum Kementerian Pertanian adalah memposisikan program aksi adaptasi pada subsektor tanaman pangan dan hortikultura sebagai prioritas utama.

Selain itu, lanjut Kurniatun, juga menambah pembangunan sarana irigasi, peningkatan diversitas tanaman dan seleksi tanaman tahan kekeringan.

"Program mitigasi juga tetap dilakukan, yakni upaya penyerapan CO2 di udara dan menyimpannya dalam tanaman atau tanah, baik melalui ekosistem hutan atau pertanian dalam jangka waktu panjang," ujarnya.

Guna memadukan strategi adaptasi dan mitigasi itu, katanya, ada cara yang cukup relevan, yakni agroforestri yang memaksimalkan lahan dengan berbagai jenis tanaman, termasuk di kawasan hutan.

"Agriforestri ini juga mampu menurunkan emisi karbon sekitar 20 persen. Kalau agroforestri terus ditingkatkan luasannya, dapat dipastikan emisi karbon akan terus menurun," ujarnya.

Sumber : http://www.antaranews.com/berita/376207/perubahan-iklim-ganggu-ketersediaan-pangan

Sunday, May 26, 2013

Konsumsi Makanan Lokal untuk Mengurangi Jejak Karbon

Jakarta, 21 Mei 2013. Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) hari ini menyelenggarakan diskusi dengan tema Pemanfaatan Bahan Makanan Lokal sebagai Peluang Mengurangi Jejak Karbon.

Sebesar 30% emisi gas rumah kaca global berasal dari sektor pertanian dan produksi makanan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, maka gabungan antara pengangkutan produk makanan, pendinginan, perilaku konsumen dan pengelolaan sampah juga meningkat pesat.



Beberapa faktor yang berdampak terhadap iklim termasuk posisi produk yang dikonsumsi dalam rantai makanan, energi yang digunakan untuk produksi, metode organik atau dengan bahan kimia, dan seberapa jauh makanan tersebut diangkut sampai ke meja makan. Berbagai hal ini secara langsung meningkatkan jejak karbon baik jejak karbon individu, organisasi, kegiatan, maupun produk.

Dalam diskusi di DNPI tersebut dipaparkan informasi tentang Jejak Karbon dan Karbon Kalkulator DNPI (kalkulator.dnpi.go.id) yang dapat digunakan untuk menghitung emisi pribadi, emisi rumah tangga dan emisi kantor. Selanjutnya adalah pembelajaran tentang bahan makanan lokal serta kiat-kiat dan strategi pemanfaatannya untuk mengurangi jejak karbon.

Jejak karbon adalah jumlah emisi gas rumah kaca yang dilepaskan oleh pribadi atau kelompok dalam melakukan kegiatannya per periode tertentu. Satuan jejak karbon adalah ton-setara-CO2 (tCO2e) atau kg-setara-CO2 (kgCO2e).

Makanan yang dihasilkan lebih dekat ke tempatnya disantap akan mengeluarkan emisi lebih sedikit terkait transportasi, lebih segar dan membantu produsen lokal.  Dengan berkurangnya jarak tempuh makanan, berkurang pula kebutuhan untuk mengolahnya dan  untuk pendinginan guna mengurangi pembusukan.

Faktanya, saat ini terdapat bahan makanan yang secara kuantitatif dan kualitatif tidak memadai untuk suatu daerah, sehingga perlu didatangkan dari provinsi dan kabupaten lain yang berjarak jauh, bahkan diimpor.

Memahami sumberdaya yang digunakan untuk produksi makanan akan membuat konsumen lebih peduli terhadap hubungan antara makanan dan perubahan iklim sehingga pilihan yang diambil akan lebih ramah iklim.

Diskusi yang dipandu oleh Amanda Katili dari Divisi Komunikasi, Informasi dan Edukasi DNPI menampilkan nara sumber Arie Parikesit, pegiat kuliner yang bersama Bondan Winarno mendirikan Kelanarasa Culinary Solutions. Arie memperkaya informasi dengan pengalaman dari beberapa negara, termasuk Indonesia, yang memanfaatkan pangan lokal. *****

Materi Presentasi

1. Eat Locally - Arie Parikesit bisa diunduh di sini.

2. Peluang Mengurangi Jejak Karbon dari Pemanfaatan Bahan Makanan Lokal - Debi Nathalia bisa diunduh di sini.

Pres Rilis bisa diunduh di sini

Sumber : http://dnpi.go.id

Sunday, May 12, 2013

Kadar CO2 di Atmosfer Capai Rekor Tertinggi


VIVAnews - Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, konsentrasi karbon dioksida dalam atmosfir melewati titik tonggak lebih dari 300 parts per million (ppm). Terakhir kali gas rumah kaca begitu banyak di udara terjadi beberapa juta tahun yang lalu.

Menurut harian Guardian, Minggu 20 Mei 2013, emisi CO2 setinggi itu terjadi ketika kawasan arktik bebas dari es, padang rumput di gurun sahara dan permukaan laut lebih tinggi 40 meter dari hari ini.



Dua stasiun pemantauan CO2 di gunung berapi Hawaii yang dikelola US National Oceanic and Atmospheric Administration dan Scripss Institution of Oceanogrhaphy merilis data pada Jumat 10 Mei 2013, kadar rata-rata harian co2 di atsmosfir telah tembus 400 ppm untuk pertama kalinya.

Pakar perubahan iklim Scripps, Profesor Ralph Keeling, menyatakan kondisi saat ini akan membuat dunia kembali pada masa waktu tersebut, konsekuensinya peradaban akan hancur. Namun, hal tersebut dapat dicegah bila emisi CO2 dari pembakaran batubara, gas dan minyak dengan cepat dibatasi.

Keeling menyatakan meskipun resesi ekonomi masih terasa, namun ternyata tidak berimbas terhadap emisi global yang terus melambung tidak terkendali. "Ini adalah simbol, titik disaat manusia harus berhenti sejenak dan berpikir ada dimana kita saat ini," katanya.

Ketua the Intergovermental Panel on Climate Change, Profesor Rajendra Pachauri, menyatakan pada awal industrialisasi konsentrasi CO2 baru hanya 280 ppm dan saat ini kadar co 2 di udara telah melewati ambang batas aman.

"Titik saat ini merupakan pengingat bagi para pemimpin dunia untuk meningkatkan kesadaraan realitas ilmiah perubahan iklim," katanya.

Berbagai negara di dunia telah sepakat untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata global yang terus meningkat 1-2 derajat celcius. Namun, International Energy Agency pada 2012 lalu telah memperingatkan tren emisi saat ini akan membuat dunia memanas hingga 6 derajat celcius.

Analisis dari fosil udara yang terperangkap dalam gunung es kuno dan data lain menunjukkan tingkat ini belum pernah terlihat di bumi selama 3-5 juta tahun. Terakhir bumi mengalami hal ini pada periode Pliosen. Saat itu, suhu rata-rata global 3-4 derajat celcius lebih tinggi dari hari ini, dan 8 derajat celcius lebih tinggi di kutub.

Pada periode tersebut, terumbu karang mengalami kepunahan utama, dan hutan tumbuh hingga ke ujung udara samudera arktik, yang saat ini daerah tersebut merupakan tundra. Tundra adalah sautu area tanpa pohon akibat rendahnya suhu lingkungan.

"Saya pikir ada kemungkinan ekosistem dahulu akan dapat terjadi kembali," kata Richard Norris, pakar lingkungan Scripps. Sistem iklim bumi membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan peningkatan panas yang terperangkap oleh emisi rumah kaca yang tinggi.

Mencair Cepat

Dia memprediksi kecepatan peningkatan emisi rumah kaca terus meningkat hingga 75 kali leboh cepat dibandingkan waktu pra industri. Catatan menunjukkan gelombang panas ekstrim dan banjir lebih sering. Pada gilirannya, lautan es akan mencair dengan cepat di Arktik.

"Iklim prasejarah akan membuat manusia akan menghadapi resiko besar dan berpotensi bencana," kata Direktur KEbijakan Grantham Research Institute on Climate Change London School of Economics.

Satu-satunya cara untuk menghindari bencana adalah mengurangi emisi global, mendukung teknologi energi bersih untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

"Hanya dengan segera engurangi emisi global maka kita dapat terhindar dari konsekuensi penuh memutar kembali jam iklim tiga juta tahun yang lalu sebelum terlambat untuk anak cucu kita," katanya. (ren)

Sumber :
http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/412142-kadar-co2-di-atmosfer-capai-rekor-tertinggi

Friday, May 10, 2013

Bekasi canangkan Kota Hijau


Bekasi (ANTARA News) - Pemerintah Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu, melakukan pencanangan sebagai daerah Kota Hijau guna meningkatkan kualitas tata ruang.

"Pencanangan ini tak sekadar upaya pemerintah merebut kembali Piala Adipura, tapi juga merupakan kepedulian nyata pemerintah akan kondisi bumi yang semakin panas," ujar Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, di Bekasi, Kamis.

Menurut dia, pihaknya ingin berpartisipasi positif menjadikan bumi lebih nyaman di tengah laju pemanasan global.



"Cara mudah yang kami lakukan dan akan terus digencarkan ialah penanaman pohon," katanya.

Pencanangan tersebut ditandai dengan penanaman pohon yang merupakan simbolisasi dari pencanangan Bekasi Kota Hijau di Taman Alun-Alun Kota Bekasi.

Di sisi lain, penanaman pohon juga bertujuan untuk menambah luas Ruang Terbuka Hijau (RTH). Prasyarat sebuah daerah harus memiliki minimal 30 persen lahan RTH dari total luas wilayah membutuhkan waktu lama dan biaya tidak sedikit untuk merealisasikannya.

"Namun dengan partisipasi aktif masyarakat, juga perusahaan-perusahaan swasta yang berkegiatan di Kota Bekasi, upaya pemenuhan RTH sesuai standar itu pasti bisa diwujudkan lebih cepat dan murah," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bekasi Dadang Hidayat menyebutkan, Kota Bekasi masih kekurangan 6 persen RTH publik dari yang disyaratkan.

Angka tersebut setara dengan perkiraan area seluas 1.200 hektare.

"Targetnya memang baru pada tahun 2030 nanti terpenuhi standar minimal tersebut. Namun kami terus berupaya supaya dapat mencapainya lebih cepat," katanya.

Salah satu caranya ialah dengan memperketat aturan mengenai pemanfaatan suatu lahan supaya tidak terjadi alih fungsi RTH untuk kepentingan lain. (AFR/KWR)

Editor: B Kunto Wibisono

Sumber :
http://www.antaranews.com/berita/373745/bekasi-canangkan-kota-hijau

Tuesday, May 7, 2013

Implementing Best Practices of Sustainable Forestry for Scaling up Efforts of Climate Change Mitigation and Adaptation

Indonesia believes that the role of ADP is very important for enhancing ambition and to close the ambition gap of policy and actions of climate change mitigation and adaptation.

As we are aware, Bali Action Plan 2007 is a turning point for forest-related mitigation and adaptation as well as land based efforts as stated on Decision 1 and Decision 2 of COP13. The scope of forestry on the Decision 1/CP.13 article 1.b.iii widely accommodates forestry efforts particularly in influencing CO2 cycle by reducing deforestation and forest degradation, conservation of forests, sustainable management of forest and enhancing forest carbon stocks, as today we know as REDD+.

Indonesia had been voluntarily committed to reduce the emissions by 26 up to 41% by 2020 as stated by President Yudhoyono during the G-20 Summit in 2009. This commitment had been regulated through Presidential Decree number 61/2011 concerning the National Action Plan on GHG Emission Reduction, where approximately 87% of the national targets imposing on forest and peatland areas.

Starting with re-explaining our maintained forest cover data in term of climate change, Indonesia had announced the 15 years Indonesia rate of deforestation (refer to UNFCCC COP 18 side event) which decreased significantly from the highest rate of almost 4 million hectares per year between period of 1997-2000 to 0.45 million hectares by 2011. This is our long work program based on international system such as FAO, FRA mention some by María José Sánz Sánchez, and ITTO. The results and methodology have been discussed deeply in the two days international experts meeting in Jakarta recently (refer to Asia Views, March 2013). This is very important for quantifying the carbon forests and also as an instrument of governance.

In line with the Bali Action Plan (REDD, carbon conservation, sustainable forest management, and enhancing forest carbon stock), some best practices have been done mainly combating illegal logging, improving regulations, and more works on the national movement of tree planting program (1 billion trees for the world every year since 2010). Promoting innovation on SFM is included combining forestry program with renewable biomass energy transforming fuel wood knowledge to wood pellet and in the future potential for wood methanol by community and private sector under the Indonesia Climate Change Trust Fund. This is in line with yesterday presentation by Dolf Gielen from IRENA. To mention some of innovation, the root induction system could shorter the economic cycle of teak plantation to only 5 years, and for natural forest we can increase yield by 3 to 10 fold by doing silviculture intensive management system. Indonesia believes we could do much more.

By reducing CO2 in the atmosphere, forestry activities are not only low-carbon activities, in fact they are carbon-neutral activities. Therefore, forestry could address the development, by delivering a high value of green development and economy. This is in line with what Riccardo Valentini  just highlight the global anthropogenic Carbon stays 28% in forests and 46% in the atmosphere. Riccardo Valentini  asked how to balance, so the forestry activities could increase 28% sink and reduce 46% CO2 atmosphere.

Being part of the United Nations Forum on Forests (UNFF), Indonesia would like to highlight the 10th session resolution 2013 which are related to climate change and finance, such as reiterates the vital role and significant contribution of all types of forests in addressing climate change, and to promote the development of both market and non-market-based approaches for sustainable forest management.

Various regulations have also been issued at the ministerial level in Indonesia; those will be adjusted dynamically based on the key stakeholder ability as well as dynamic of the national and the international dialogue.

Forestry also plays an important role for Agriculture. Indonesia as an agriculture country, need to provide crop to feed our growing population, which is now approaching 250 million people. However, at the same time agriculture sector also has to contribute in reducing our GHG emission in support to the national target. The government is now putting the adaptation programs as the top priority for agricultural sector. All of the efforts are now packed and integrated into what so called “Indonesian Carbon Efficient Farming” (ICEF), which is basically an integration of mitigation and adaptation actions especially in the paddy rice field in Indonesia.

Through this important workshop, Indonesia would like to emphasize that the Indonesian forestry and agriculture with its all potential, and the advantages of tropical region, is ready with the initiation and example of best practices for the climate change mitigation and adaptation, and being able to scale up the efforts of achieving the world emission reduction target. The availability of financial and investment scheme are the key component to reach the ambition to transform actions into low carbon development while cleaning up CO2 in the atmosphere.

Through cooperation and knowledge sharing among tropical and non-tropical forest countries, and by expanding the cooperation among countries in the world on sustainable use of forest products, green renewable energy and new commodity of forest carbon through market and non-market mechanism are essential for the best practices related to land use. The rule of cooperation to enhance ambition and to fulfill the gap should be simple but workable, this is a kind of leadership of ADP that we all need.

Bonn, 1st of May 2013
Indonesia Delegates

Presented by:
Dr. Yetti Rusli, MSc.
Senior Adviser to the Minister of Forestry Indonesia on Environment and Climate Change
_____________________________________________________
stronguardian's Climate Change Conference 2013 Bonn album on Photobucket

AD HOC WORKING GROUP ON THE DURBAN PLATFORM FOR ENHANCED ACTION
Second session (ADP 2)
Bonn, Germany, 29 April – 3 May 2013

Link to Workshop Programme:

Thursday, May 2, 2013

Poem of “The TREES FOR BETTER LIFE”


Heal the world by planting trees
Planting more means absorbing more CO2
Planting more means produce more green products
These are the anchor of forest for climate change solution..
HEAL THE WORLD BY PLANTING TREES..

Inspired by Michael Jackson Song "Heal The World"

Dr. Ir. Yetti Rusli, M.Sc