“Pelet kayu termasuk ramah lingkungan. Selain emisi CO2 yang dikeluarkan dari hasil pembakarannya rendah, juga berasal dari bahan baku terbarukan yang bersifat carbon neutral,” jelas Gustan Pari, peneliti utama pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah), saat ditemui di Bogor, Selasa (26/2).
Pelet kayu dapat disebut sebagai carbon neutral karena dianggap tidak menambah emisi CO2 ke atmosfer. Semasa pertumbuhan, pohon ini telah menyerap CO2 dengan jumlah yang diserap dapat lebih besar daripada yang dilepaskan. “Bahkan bisa menjadi karbon negatif,” lanjut Gustan.
“Emisi CO2 dari pelet kayu sekitar sepuluh kali lebih rendah dibandingkan dengan batu bara dan bahan bakar minyak serta delapan kali lebih rendah daripada gas,” ungkap Ir. Subarudi, M.Wood, Sc., peneliti di Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak) di Bogor, Selasa (26/02), mengutip data yang disajikan oleh PT Solar Park Indonesia.
PT Solar Park Indonesia adalah industri yang telah menghasilkan pelet kayu skala komersial. Mereka bekerja sama dengan Perum Perhutani dalam hal penanaman kayu energi seperti kayu, kaliandra, kemladingan, dan gamal. Pelet kayu juga bisa dibuat dari tanaman energi lain seperti akasia auriculiformis, maesopsis, dan tanaman tertentu seperti pohon willow dan alder.
Pelet kayu digunakan sebagai sumber energi untuk pemanas ruangan pada musim dingin dan energi penghasil listrik (carbon for electricity). Pelet kayu dapat juga digunakan sebagai sumber energi di rumah tangga untuk keperluan memasak. Pelet kayu menghasilkan rasio panas yang relatif tinggi antara output dan input-nya (19:1 hingga 20:1) dan energi sekitar 4,7kWh/kg.
Penelitian dan pemanfaatan pelet kayu didorong oleh kebutuhan adanya energi alternatif biomassa pengganti minyak bumi yang semakin mendesak karena harga minyak mentah yang akan terus meningkat dan akan habis. Selain itu, adanya upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), juga membuat pelet kayu menjadi salah satu pilihan tepat bagi masyarakat dan industri baik kecil, menengah, maupun besar.
Keunggulan lain pelet kayu adalah mengoptimalkan pemanfaatan berupa limbah seperti serbuk kayu sehingga mempunyai nilai jual yang lebih tinggi, yang biasanya dibuang begitu saja. Pelet kayu juga memberi nilai tambah pada proses pengolahan kayu serta meningkatkan profitabilitas usaha kecil.
Pelet kayu berbentuk silindris dengan diameter 6-10 mm dan panjang 1-3 cm dan memiliki kepadatan rata-rata 650 kg/m3 atau 1,5 m3/ton. Pelet kayu dihasilkan dari berbagai bahan biomassa, terutama limbah serbuk gergaji dari pabrik penggergajian kayu dan serbuk limbah veneer dari pabrik kayu lapis atau palet daur ulang.
“Prosesnya sangat sederhana, bahan baku dikeringkan sampai kadar air maksimal 10% selanjutnya dipres dengan tekanan tinggi dan dipanaskan pada suhu sekitar 120-1800C, untuk proses kering. Sedangkan untuk proses basah bisa menggunakan bahan baku dengan kadar air tinggi, ditambah tepung kanji dan air kemudian dipres dengan tekanan tinggi tanpa pemanasan. Kedua sistem ini dilakukan secara kontinu,” jelas Gustan lebih lanjut.
Nilai tambah
Berdasarkan data hasil penelitian pada Jurnal Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol.9 No.4 Desember tahun 2012, penggunaan pelet kayu sebagai bahan bakar dapat meningkatkan keuntungan usaha. Dalam jurnal tersebut, Dra. Setiasih Irawanti, M.S. dkk , menyatakan nilai tambah, keuntungan dan margin yang dihasilkan adalah paling tinggi ketika menggunakan bahan bakar sebetan dan pelet kayu, sebaliknya paling rendah ketika menggunakan gas.
Demikian pula kontribusi biaya input bahan bakar lebih rendah menggunakan sebetan dan pelet kayu, sebaliknya tertinggi bila menggunakan gas. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian nilai tambah pengolahan tahu di Kabupaten Banyumas dan Cianjur. Pada uji coba pengolahan tahu goreng menggunakan pelet kayu diperoleh nilai tambah pengolahan sebesar Rp 11.459 per kg kedelai, keuntungan sebesar Rp 8.309 per kg kedelai, dengan sumbangan input pelet kayu 13,5%. Sementara untuk penggunaan gas diperoleh nilai tambah Rp 8.160 per kg, keuntungan Rp 6.560 per kg, dan sumbangan input bahan bakar gas 17,4 %.
“Penggunaan bahan bakar gas secara teknis dan ekonomis menarik untuk disubstitusi dengan bahan bakar biomassa, baik menggunakan sebetan atau pelet kayu. Memang pelet kayu adalah salah satu jenis bahan bakar biomassa yang belum dikenal oleh masyarakat atau bahkan belum beredar di pasardalam negeri sehingga masih perlu disosialisasikan,’’ ujar Setiasih. (RW/FORDA)***
Ditulis oleh: Ratna Widyaningsih
0 comments:
Post a Comment
Silakan memberikan komentar :) terimakasih sudah berkunjung ke forestforlife.web.id