Pages

Monday, March 11, 2013

Menyongsong Model Proyek Karbon Bangkalan Madura

Makam Syekh Muhammad Kholil atau bebek goreng gurih nan menggiurkan. Ikon  wisata spiritual dan kuliner itulah yang biasanya kerap diingat orang tentang Kabupaten Bangkalan, Madura. Selain, tentu saja, karapan sapi yang melegenda.Kabupaten yang berada di ujung paling barat Madura itu kini lebih mudah diakses berkat kehadiran Jembatan Suramadu.Sebuah karya monumental yang berhasil menyatukan daratan Pulau Jawa dan Madura.Lewat jembatan tersebut, kini hanya perlu waktu tidak lebih dari setengah jam dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya untuk mencapai Bangkalan. Atau 2 jam jika ditempuh dari Bandara Internasional Juanda, Sidoarjo. Walhasil kini tidak perlu repot lagi antre menggunakan jasa penyeberangan feri yang bisa memakan waktu 3—4 jam.



Pemandangan yang kerap terhidang begitu menginjak bumi Bangkalan adalah hamparan lahan kering kerontang.Itu pun tidak lupa diimbuhi oleh udara panas yang menyengat. Jika musim penghujandatang, lahan kering itu berganti menjadi hamparan padang rumput yang ditumbuhi ilalang. Pemandangan itu jamak dijumpai di seantero Bangkalan, tidak hanya di seputaran Jembatan Suramadu.Menurut Data Statistik RRL Jawa Timur (2007) lahan kritis di kabupaten yang sebelah baratdan selatan-nya berbatasan dengan Selat Madura itu diperkirakan mencapai 66,797 hektar (ha). Jumlah itu setara dengan 52% dari total areal luas kabupaten yang mencapai 127.518 ha.

Padahal sejatinya Bangkalan menyimpan mutiara terpendam: sebuah kawasan yang dipenuhi rerimbunan pohon yang menghadirkan atmosfer teduh dan udara nan sejuk. Untuk mencapainya tidaklah sulit, hanya 30 menit dari Jembatan Suramadu.Letaknya berada di Kecamatan Geger, Kabupaten Bangkalan.Di wilayah tersebut mudah dijumpai struktur tegakan beragam jenis tanaman.Tidak heran pemandangan yang tersaji bukan lagi menyerupai kebun tapi struktur hutan alam yang memiliki beberapa strata.Memasuki wilayah ini bak memasuki surga yang tersembunyi diantara hamparan lahan tandus di seputaran Bangkalan yang dibiarkan liar tidak terurus.
“Pohon kafir”
Hadirnya wilayah hijau tersebut bukanlah proses semudah membalikkan telapak tangan. Sebelum 1970-an dimana wilayah Geger tidak ubahnya seperti wilayah lain di Bangkalan. Bukit dan lahan-lahan yang ada tandus dan kering kerontang.Seluas mata memandang hanya hamparan tanah kering yang tersaji. Tidak heran setiap hujan yang mengguyur perbukitan di wilayah Geger akan menghasilkan banjir di wilayah Arosbaya yang berjarak 10 km arah barat dari Geger.
Kondisi itu berubah pada 1970-an saat H Muhammad Soleh beserta santri Pondok Pesantren Darrul Ittihad mulai menghijaukan lahan gundul di seputaran Kecamatan Geger. Saat itu tanaman akasiaAcacia auriculiformis menjadi andalan. Mafhum saja tanaman pionir itu cepat tumbuh dan tahan banting dengan kondisi tanah yang kurang subur.
Nyatanya tidak mudah merubah pola fikir masyarakat untuk gemar menanam.Apalagi, menurut H Noer Yanto SP, penyuluh yang turut mendampingi penanaman pada 1970, aroma politik turut pula mewarnai.Pada saat itu sedang marak pemilihan umum dan warga yang umumnya fanatik pada satu partai politik tertentu menganggap bahwa setiap bantuan bibit dari pemerintah yang dikuasai oleh suatu partai sebagai sesuatu hal yang terlarang.Tidak heran muncul istilah “pohon kafir” sebagai sebutan haramnya seseorang menanam pohon bantuan dari pemerintah.Namun, usaha penanaman tidak mudah patah arang.Lewat berbagai edukasi dan penyuluhan yang melibatkan tokoh agama setempat, masyarakat mulai menerima dan antusias terhadap program penanaman.
Hasilnya sungguh mujarab.Bukit kering kerontang hilang berganti rerimbunan hijau pohon.Perlahan pula pekarangan warga pun mulai rimbun oleh beragam jenis tegakan pohon.Pemandangan yang lazim dijumpai di Geger kini adalah perbukitan subur dengan aneka pohon jati, akasia, mahoni, pulai, serta tumbuhan buah-buahan.Bila dulu air menjadi barang langka, kini mata air bermunculan di mana-mana.Tidak ketinggalan cericit suara tonggeret sebagai pertanda kualitas lingkungan yang baik. Pun suara burung menjadi pemandangan sehari-hari yang memanjakan telinga.
Dampak positif tidak hanya dinikmati warga Geger.Penduduk Arosbaya yang dulu selalu kelimpungan diterjang banjir setiap tahun, sejak 2001 tidak lagi merasakan bahaya mengancam akibat limpasan air dari perbukitan di sekitar Geger.Setelah seabreg penghargaan tingkat provinsi, pada 1988 masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani Gunung Mere diganjar penghargaan Kalpataru kategori penyelemat lingkungan dari pemerintah pusat.
Hutan lestari
Perjuangan tidak selesai dengan diraihnya beragam penghargaan bergengsi. Pada 2010, kelompok tani Gunung Mere meleburkan diri menjadi sebuah unit pengelolaan hutan atau Forest Management Unit (FMU) dengan nama Gerbang Lestari. FMU ini merupakan gabungan kelompok tani dari 3 desa yaitu Geger, Kombangan dan Togubang, semuanya berada di Kecamatan Geger.
Di tahun yang sama FMU Gerbang Lestari memperoleh sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) untuk pengelolaan lahan seluas 2.889 ha. Sertifikat itu dikeluarkan oleh PT Mutu International Certification yang diakreditasi oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).LEI sendiri merupakan organisasi nirlaba beranggotakan lembaga-lembaga pengembang sistem sertifikasi hutan yang kredibel serta didukung oleh para pemangku kepentingan kelestarian hutan.
Walhasil memperoleh sertifikat PHBML dari LEI merupakan sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Dalam proses memperoleh sertifikat, FMU Gerbang Lestari memperoleh bimbingan teknis pengelolaan hutan lestari dari LSM Persepsi dari Wonogiri. Cerita sukses pengelolaan hutan di Geger sendiri sepatutnya digaungkan dan menjadi model contoh bagi wilayah lain di sekitar Bangkalan dan kabupaten lain.
Kebun Energi Masyarakat
Upaya kelestarian hutan bukanlah sebuah proses yang selesai begitu diraih sertifikat. Apalagi wilayah FMU sendiri masih dijumpai beberapa hamparan lahan kosong yang belum ditanami.Perlu kesungguhan dan upaya terus menerus agar kelestarian tetap terjaga.Salah satunya adalah konsep mengenai pengelolaan hutan lestari yang mendasarkan diri pada struktur sosial budaya yang khas dengan pelibatan kelembagaan sosial yang kuat lewat pemanfaatan lahan yang tersedia guna mewujudkan industri alternatif energi terbarukan.
Konsep tersebut yang tertuang dalam proyek Enhancing Sustainable Management of Community-based Wood pellets Production as Biomass Energy to Support Low Carbon Economy and Climate Change Mitigation in Bangkalan, Madura, East Javanyatanya mampu memikat hati Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Tidak ketinggalan pula staf ahli Menteri Kehutanan bidang lingkungan dan perubahan iklim Dr Yetti Rusli, Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (BPDAS-PS) Kementerian Kehutanan, IDEAS Consultant, Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) serta pihak terkait untuk memberi dukungan bagi proyek energi biomassa berbasis masyarakat.
Proyek ini didesain, pertama, mengembangkan kebun energy biomassa (Biomass Energy Estate yang selanjutnya disingkat BEE). Lahan yang dimanfaatkan adalah lahan kosong yang akan ditanami oleh kayu energy yaitu kaliandra merah Calliandra callotyhrsus. Jenis ini dipilih selain mampu memperbaiki kualitas kesuburan tanah, juga adapatif terhadap kondisi iklim yang ekstrim serta memiliki nilai kalori yang tinggi jika dibakar. Keunggulan lain adalah bungainya disukai oleh lebah serta daun dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Selain itu setelah dipanen, trubus-annya mampu tumbuh cepat mencapai 3 m dalam jangka waktu 6 bulan.
Hasil panen dari BEE ini berupa batang-batang kayu kalindra yang selanjutnya digunakan sebagai suplai bahan baku industri wood pellet berbasis masyarakat. Luas BEE sendri ditargetkan mencapai 170 ha guna memenuhi kesinambungan kebutuhan bahan baku  bagi industri wood pellet. Kedua, mengembangkan industri wood pellet berbasis masyarakat sebagai penghasil sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan.Pembangunan industri wood pellet berbasis masyarakat ini meliputi pembangunan pabrik berkapasitas 1 ton wood pellet per jam. Hal lain adalah mengembangkan jaringan pemasaran untuk memasarkan produk wood pellet menyasar pasar lokal ataupun ekspor.
Dibayangi keterbatasan dana, proyek ini tidak lupa melakukan beragam aktivitas untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan. Termasuk memastikan kesiapan masyarakat lokal dalam mengadopsi teknologi industri wood pellet, menyediakan BEE untuk memastikan kesinambungan bahan baku serta membuat tatakelola yang baik dan disepakati bersama mengenai pengelolaan industri yang disepakai oleh kelompok tani. Kombinasi dua desain itu diharapkan mampu melahirkan dampak positif tidak hanya dari sisi ekologi, namun juga aspek sosial, budaya dan ekonomi.Untuk menilai dampak proyek ini dimulai dari penetapan sebuah “baseline data” sosial, ekonomi, dan lingkungan di awal proyek. Di akhir proyek dan pasca proyek akan pula dihitung nilai delta setiap aktivitas ebagai bahan analisis evaluasi dampak yang ditimbulkan dari keberadaan proyek ini.
Perhitungan karbon
Sesuai dengan judul proyek yang menyinggung mengenai mitigasi perubahan cuaca, net carbon emissionakan dihitung untuk melihat sejauh mana dampak proyek ini memberikan kontribuasi pada mitigasi perubahan iklim. Hal itu dilakukan guna mendukung program pemerintah  Rencana Aksi Nasional/Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN/RAD GRK). Perhitungan “baseline data” kandungan karbon hutan di beberapa tipe hutan rakyat di FMU Gerbang Lestari akan dilakukan di awal proyek. Selain itu dihitung pula nilai serapan karbon di BEE pada waktu-waktu tertentu. Secara teknis, nilai total kandungan karbon pada tahun ke ((n+2)-n) akan menghasilkan nilai delta karbon.
Selain itu produk wood pellet sendiri sejatinya merupakan tipe energi terbarukan yagn bisa menggantikan bahan bakar fosil terutama batubara. Batubara yang tersimpan dalam perut bumi akan melepaskan gas karbondikoksida (CO2) jika dibakar sehingga menimbulkan emisi karbon yang cukup tinggi. Jika pemanfaatan wood pellet bisa menggantikan posisi batubara sebagai bahan bakar alternatif, maka CO2 yang dibebaskan ke udara sebagai hasil pembakaran merupakan carbon neutral. Artinya, karbon yang dilepas sama dengan karbon yang diserap.
Diharapkan gerakan penanaman kaliandara ini meluas tidak hanya di seputaran Kecamatan Geger. Tujuannyaagar dampak yang terjadi akan semakin luas sehingga memudahkan dalam menghitung level emisi pada areal yang lebih luas. Proyek ini sendiri secara khusus sejalan dengan gerakan program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) dalam rangka pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi, konservasi, manajemen pengelolaan  hutan berkelanjutan (sustainable management of forest) serta peningkatan cadangan karbon.
Daru Asycarya
Project Manager
Sumber :
http://greenmadura.or.id/2013/02/menyongsong-model-proyek-karbon-bangkalan/

0 comments:

Post a Comment

Silakan memberikan komentar :) terimakasih sudah berkunjung ke forestforlife.web.id