Pages

Hutan Kunci Bagi Sasaran Pembangunan

Hutan dunia memainkan perang penting dalam peralihan ke ekonomi hijau, tapi pemerintah perlu berbuat lebih banyak guna menjamin hutan tersebut dikelola secara berkelanjutan

Pelet Kayu, Bahan Bakar Alternatif Rendah Emisi

Penggunaan wood pellet (pelet kayu) sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil untuk industri besar, kecil, dan rumah tangga menghasilkan emisi lebih rendah dibandingkan dengan minyak tanah dan gas.

COP19 Warsawa : Indonesia Paparkan Inisiatif Hijau Dalam Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung

"Green Initiatives on Protected Forest, Production Forest and National Parks" COP-19/CMP-9 UNFCCC, Warsawa, Polandia (15/11/2013).

Forest Landscape Restoration: Enhancing more than carbon stocks

ITTO co-hosted a discussion forum on “Forest Landscape Restoration: Enhancing more than carbon stocks” at Forest Day 6, convened during UNFCCC COP18 in Doha, Qatar.

Sunday, March 31, 2013

3rd Indonesia Climate Change Education Forum & Expo (18-21 April 2013)

The 3rd Indonesia Climate Change Education Forum & Expo is a mean of information and communication to bring forward the strategic issues of the climate change among students, in undertaking the education of the climate change adaptation and mitigation, which based based on the proper science.





3rd Indonesia Climate Change Education Forum & Expo (3rd ICCEFE)
Jakarta Convention Center, 18-21 April 2013


Sumber : http://dnpi.go.id/portal/id/program/agenda/290-3rd-iccefe

Wednesday, March 20, 2013

Proyek A/R CDM pertama di Indonesia diluncurkan!


Selasa, 19 Maret 2013, bertempat di Gampong Pande, Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, diluncurkan proyek reforestasi hutan bakau bertajuk "Mangrove Restoration and Coastal Greenbelt Protection in the East Coast of Aceh and North Sumatra Province, Indonesia". Proyek ini merupakan proyek aforestasi/reforestasi (A/R) Clean Development Mechanism yang pertama mendapat persetujuan Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB) dengan pengembangnya Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu) dan penyandang dana, konsorsium Livelihoods Fund.



Turut hadir dalam acara peluncuran ini adalah Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim/Anggota Komnas MPB, Dr. Yetti Rusli; Koordinator Divisi Perdagangan Karbon DNPI/Sekretariat Komnas MPB, Dicky Edwin Hindarto; perwakilan konsorsium penyandang dana, dan para pemangku kepentingan lokal (masyarakat, pemerintah daerah). Setelah sambutan-sambutan dari pengembang dan pemangku kepentingan, acara diakhiri dengan penanaman bakau oleh perwakilan-perwakilan para pemangku kepentingan.

Proyek ini sendiri bertujuan merehabilitasi 5000 hektar lahan bakau yang sudah rusak di Aceh dan Sumatera Utara dengan melakukan penanaman kembali dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Proyek akan dilaksanakan di 39 desa pesisir di Aceh dan Sumut serta diharapkan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sampai 2.323.500 ton setara-CO2. Hutan bakau sendiri sangat banyak manfaatnya, antara lain sebagai habitat ikan dan kepiting, penahan angin dan gelombang, serta sumber bahan baku pangan alternatif. Di seputaran Gampong Pande, telah ada 48 hektar lahan yang ditanami bakau sebagai bagian dari proyek ini.

 

Lokasi penanaman Bakau di Gampong Pande, Banda Aceh



Penganan berbahan baku bakau



Sambutan dari Staf Ahli Menteri Kehutanan/Anggota Komnas MPB, Dr. Yetti Rusli



Berfoto setelah menanam bakau bersama

Dalam proyek ini, Livelihoods Fund melakukan investasi berupa dana pembibitan dan penanaman bakau serta menyediakan dana bergulir untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dana bergulir digunakan sebagai modal awal usaha masyarakat sehingga dengan demikian diharapkan masyarakat tidak tergiur untuk merusak lahan bakau yang sudah ditanami. Kredit karbon (Certified Emission Reduction) yang nantinya dihasilkan akan digunakan oleh salah satu anggota konsorsium Livelihoods Fund, yaitu Danone Group, untuk meng-offset emisinya secara sukarela.

Saat harga CER di pasar spot Eropa sangat rendah, kurang dari 0,5 euro per ton CO2, skema bisnis seperti ini memungkinkan pengembang mendapatkan harga karbon kredit yang layak untuk membiayai proyek. Persyaratan dari pembeli bahwa proyek harus mempunyai aspek pengembangan masyarakat yang tidak terpisahkan dari sisi penurunan emisi juga memberikan warna lain bagi proyek ini.

Dalam kondisi pasar karbon yang tengah lesu, proyek ini memberikan bukti bahwa pasar karbon masih bisa memberikan insentif untuk merealisasikan proyek penurunan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi nyata pada pengembangan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan. (AS).

Sumber :
http://dnpi.go.id/portal/id/berita/berita-terbaru/294-proyek-ar-cdm-pertama-di-indonesia-diluncurkan

Tuesday, March 12, 2013

Dr. Ir. Yetti Rusli, M.Sc : Mitigation and Adaptation on Climate Change


Padang, MinangkabauNews -- Padang Mayor says climate change is one of the biggest environmental issue of this century. We are required to work in synergy and help tackle climate change by action quickly, accurately, and take advantage of existing solutions.



Mitigating the impact of disasters resulting from climate change, would be a major topic in the problems facing the impact of climate change, to empower the community as the vanguard creating disaster preparedness.

It was announced by the Mayor of Padang DR. Fauzi Bahar, M.Si as a keynote speaker at the International Seminar On Climate Change "Mitigation and Adaptation" Inna Muara Hotel in Padang, Monday (11/3).

The seminar was organized by the Geography Program STKIP PGRI of west Sumtara followed lecturers State universities and private colleges in the territory Kopertis X and students STKIP PGRI of West Sumatra. Also attending as a speaker Prof. Dr. Rizaldi Boer of IPB, Dr. Ir. Yetti Rusli, M.Sc from the Ministry of Forestry, Dr. Paul Burgers from Utrecht University, Netherlands.

Fauzi explained, disaster mitigation in Padang was also conducted on aspects of regulation, supervision and coaching groups of people who are members of the Group of Disaster Preparedness (KSB) at 104 Village in Padang.

In addition, to deal with the threat of tsunami, Pemko Padang had set for the new building that has 2 or more floors of a building to provide shelter to the building.

"And now, Padang government is preparing the construction of 100 shelters scattered red zone region," said Fauzi.

Added to the threat of landslides and flash floods, Padang government continue to make efforts to "war" against illegal loggers. And sprain greening in the city of Padang.

"To combat illegal loggers, are expected information from the public," said Fauzi.

Fauzi appealed to the people of Padang to keep the environment, and reduce outdoor activities, given the information from the city of Padang BMKG weather states that reach 32 º Celsius.

He saids Like it or not, global warming is real; it is human-caused, and we need to do something about it. There is no more luxury for us to underestimate the impact of human activities to the environment. The frightening part is, since we all interconnected in a global ecosystem, any destruction to the environment will eventually affects every body through what known as the global effect.

There are at least three things we can all do and should try to lessen our pressure to the environment – or even prevent future disasters: 1. Repairing the existing damage that has already occurred; 2. Introducing and encouraging the use of alternative energy resources that is clean and ecologically friendly; and 3. Developing green technologies through innovations to conserve natural resources. This Seminar will be focussing on discussing these three points, under the theme: Green Technology Innovations for A Sustainable Society.

This International Seminar is organized by the Faculty geography, STKIP Sumbar. In essence, this Seminar is also a manifestation of concerns by the faculty members on the continuing destructions of our environment, and an expression of this faculty to promote the use of green technology in the society. It is hoped that this seminar could help promoting green lifestyle through the use of green technology in this country, and to raise public awareness on the need to be innovative and to produce climate smart processes and products.

The Seminar will include keynote addresses, invited papers, tutorials, and contributed papers, to be conducted in March 11, 2013, with keynote speech by Prof. Dr. Rizaldi Boer dari IPB, Dr. Ir. Yetti Rusli, M.Sc from the Ministry of Forestry, Dr. Paul Burgers from Utrecht University, Netherlands and Mayor of Padang, DR. H. Fauzi Bahar. (006)

Sumber :
http://minangkabaunews.com/artikel-3310-fauzi-beware-of-climate-change.html
http://tanah.faperta.ipb.ac.id/index.php/35-semina1/325-seminar-stkip-geo
http://www.padangmedia.com/1-Berita/79775-Mengatasi-Perubahan-Iklim--Waspadai-Tangan-Manusia.html

Monday, March 11, 2013

Menyongsong Model Proyek Karbon Bangkalan Madura

Makam Syekh Muhammad Kholil atau bebek goreng gurih nan menggiurkan. Ikon  wisata spiritual dan kuliner itulah yang biasanya kerap diingat orang tentang Kabupaten Bangkalan, Madura. Selain, tentu saja, karapan sapi yang melegenda.Kabupaten yang berada di ujung paling barat Madura itu kini lebih mudah diakses berkat kehadiran Jembatan Suramadu.Sebuah karya monumental yang berhasil menyatukan daratan Pulau Jawa dan Madura.Lewat jembatan tersebut, kini hanya perlu waktu tidak lebih dari setengah jam dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya untuk mencapai Bangkalan. Atau 2 jam jika ditempuh dari Bandara Internasional Juanda, Sidoarjo. Walhasil kini tidak perlu repot lagi antre menggunakan jasa penyeberangan feri yang bisa memakan waktu 3—4 jam.



Pemandangan yang kerap terhidang begitu menginjak bumi Bangkalan adalah hamparan lahan kering kerontang.Itu pun tidak lupa diimbuhi oleh udara panas yang menyengat. Jika musim penghujandatang, lahan kering itu berganti menjadi hamparan padang rumput yang ditumbuhi ilalang. Pemandangan itu jamak dijumpai di seantero Bangkalan, tidak hanya di seputaran Jembatan Suramadu.Menurut Data Statistik RRL Jawa Timur (2007) lahan kritis di kabupaten yang sebelah baratdan selatan-nya berbatasan dengan Selat Madura itu diperkirakan mencapai 66,797 hektar (ha). Jumlah itu setara dengan 52% dari total areal luas kabupaten yang mencapai 127.518 ha.

Padahal sejatinya Bangkalan menyimpan mutiara terpendam: sebuah kawasan yang dipenuhi rerimbunan pohon yang menghadirkan atmosfer teduh dan udara nan sejuk. Untuk mencapainya tidaklah sulit, hanya 30 menit dari Jembatan Suramadu.Letaknya berada di Kecamatan Geger, Kabupaten Bangkalan.Di wilayah tersebut mudah dijumpai struktur tegakan beragam jenis tanaman.Tidak heran pemandangan yang tersaji bukan lagi menyerupai kebun tapi struktur hutan alam yang memiliki beberapa strata.Memasuki wilayah ini bak memasuki surga yang tersembunyi diantara hamparan lahan tandus di seputaran Bangkalan yang dibiarkan liar tidak terurus.
“Pohon kafir”
Hadirnya wilayah hijau tersebut bukanlah proses semudah membalikkan telapak tangan. Sebelum 1970-an dimana wilayah Geger tidak ubahnya seperti wilayah lain di Bangkalan. Bukit dan lahan-lahan yang ada tandus dan kering kerontang.Seluas mata memandang hanya hamparan tanah kering yang tersaji. Tidak heran setiap hujan yang mengguyur perbukitan di wilayah Geger akan menghasilkan banjir di wilayah Arosbaya yang berjarak 10 km arah barat dari Geger.
Kondisi itu berubah pada 1970-an saat H Muhammad Soleh beserta santri Pondok Pesantren Darrul Ittihad mulai menghijaukan lahan gundul di seputaran Kecamatan Geger. Saat itu tanaman akasiaAcacia auriculiformis menjadi andalan. Mafhum saja tanaman pionir itu cepat tumbuh dan tahan banting dengan kondisi tanah yang kurang subur.
Nyatanya tidak mudah merubah pola fikir masyarakat untuk gemar menanam.Apalagi, menurut H Noer Yanto SP, penyuluh yang turut mendampingi penanaman pada 1970, aroma politik turut pula mewarnai.Pada saat itu sedang marak pemilihan umum dan warga yang umumnya fanatik pada satu partai politik tertentu menganggap bahwa setiap bantuan bibit dari pemerintah yang dikuasai oleh suatu partai sebagai sesuatu hal yang terlarang.Tidak heran muncul istilah “pohon kafir” sebagai sebutan haramnya seseorang menanam pohon bantuan dari pemerintah.Namun, usaha penanaman tidak mudah patah arang.Lewat berbagai edukasi dan penyuluhan yang melibatkan tokoh agama setempat, masyarakat mulai menerima dan antusias terhadap program penanaman.
Hasilnya sungguh mujarab.Bukit kering kerontang hilang berganti rerimbunan hijau pohon.Perlahan pula pekarangan warga pun mulai rimbun oleh beragam jenis tegakan pohon.Pemandangan yang lazim dijumpai di Geger kini adalah perbukitan subur dengan aneka pohon jati, akasia, mahoni, pulai, serta tumbuhan buah-buahan.Bila dulu air menjadi barang langka, kini mata air bermunculan di mana-mana.Tidak ketinggalan cericit suara tonggeret sebagai pertanda kualitas lingkungan yang baik. Pun suara burung menjadi pemandangan sehari-hari yang memanjakan telinga.
Dampak positif tidak hanya dinikmati warga Geger.Penduduk Arosbaya yang dulu selalu kelimpungan diterjang banjir setiap tahun, sejak 2001 tidak lagi merasakan bahaya mengancam akibat limpasan air dari perbukitan di sekitar Geger.Setelah seabreg penghargaan tingkat provinsi, pada 1988 masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani Gunung Mere diganjar penghargaan Kalpataru kategori penyelemat lingkungan dari pemerintah pusat.
Hutan lestari
Perjuangan tidak selesai dengan diraihnya beragam penghargaan bergengsi. Pada 2010, kelompok tani Gunung Mere meleburkan diri menjadi sebuah unit pengelolaan hutan atau Forest Management Unit (FMU) dengan nama Gerbang Lestari. FMU ini merupakan gabungan kelompok tani dari 3 desa yaitu Geger, Kombangan dan Togubang, semuanya berada di Kecamatan Geger.
Di tahun yang sama FMU Gerbang Lestari memperoleh sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) untuk pengelolaan lahan seluas 2.889 ha. Sertifikat itu dikeluarkan oleh PT Mutu International Certification yang diakreditasi oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).LEI sendiri merupakan organisasi nirlaba beranggotakan lembaga-lembaga pengembang sistem sertifikasi hutan yang kredibel serta didukung oleh para pemangku kepentingan kelestarian hutan.
Walhasil memperoleh sertifikat PHBML dari LEI merupakan sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Dalam proses memperoleh sertifikat, FMU Gerbang Lestari memperoleh bimbingan teknis pengelolaan hutan lestari dari LSM Persepsi dari Wonogiri. Cerita sukses pengelolaan hutan di Geger sendiri sepatutnya digaungkan dan menjadi model contoh bagi wilayah lain di sekitar Bangkalan dan kabupaten lain.
Kebun Energi Masyarakat
Upaya kelestarian hutan bukanlah sebuah proses yang selesai begitu diraih sertifikat. Apalagi wilayah FMU sendiri masih dijumpai beberapa hamparan lahan kosong yang belum ditanami.Perlu kesungguhan dan upaya terus menerus agar kelestarian tetap terjaga.Salah satunya adalah konsep mengenai pengelolaan hutan lestari yang mendasarkan diri pada struktur sosial budaya yang khas dengan pelibatan kelembagaan sosial yang kuat lewat pemanfaatan lahan yang tersedia guna mewujudkan industri alternatif energi terbarukan.
Konsep tersebut yang tertuang dalam proyek Enhancing Sustainable Management of Community-based Wood pellets Production as Biomass Energy to Support Low Carbon Economy and Climate Change Mitigation in Bangkalan, Madura, East Javanyatanya mampu memikat hati Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Tidak ketinggalan pula staf ahli Menteri Kehutanan bidang lingkungan dan perubahan iklim Dr Yetti Rusli, Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (BPDAS-PS) Kementerian Kehutanan, IDEAS Consultant, Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) serta pihak terkait untuk memberi dukungan bagi proyek energi biomassa berbasis masyarakat.
Proyek ini didesain, pertama, mengembangkan kebun energy biomassa (Biomass Energy Estate yang selanjutnya disingkat BEE). Lahan yang dimanfaatkan adalah lahan kosong yang akan ditanami oleh kayu energy yaitu kaliandra merah Calliandra callotyhrsus. Jenis ini dipilih selain mampu memperbaiki kualitas kesuburan tanah, juga adapatif terhadap kondisi iklim yang ekstrim serta memiliki nilai kalori yang tinggi jika dibakar. Keunggulan lain adalah bungainya disukai oleh lebah serta daun dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Selain itu setelah dipanen, trubus-annya mampu tumbuh cepat mencapai 3 m dalam jangka waktu 6 bulan.
Hasil panen dari BEE ini berupa batang-batang kayu kalindra yang selanjutnya digunakan sebagai suplai bahan baku industri wood pellet berbasis masyarakat. Luas BEE sendri ditargetkan mencapai 170 ha guna memenuhi kesinambungan kebutuhan bahan baku  bagi industri wood pellet. Kedua, mengembangkan industri wood pellet berbasis masyarakat sebagai penghasil sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan.Pembangunan industri wood pellet berbasis masyarakat ini meliputi pembangunan pabrik berkapasitas 1 ton wood pellet per jam. Hal lain adalah mengembangkan jaringan pemasaran untuk memasarkan produk wood pellet menyasar pasar lokal ataupun ekspor.
Dibayangi keterbatasan dana, proyek ini tidak lupa melakukan beragam aktivitas untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan. Termasuk memastikan kesiapan masyarakat lokal dalam mengadopsi teknologi industri wood pellet, menyediakan BEE untuk memastikan kesinambungan bahan baku serta membuat tatakelola yang baik dan disepakati bersama mengenai pengelolaan industri yang disepakai oleh kelompok tani. Kombinasi dua desain itu diharapkan mampu melahirkan dampak positif tidak hanya dari sisi ekologi, namun juga aspek sosial, budaya dan ekonomi.Untuk menilai dampak proyek ini dimulai dari penetapan sebuah “baseline data” sosial, ekonomi, dan lingkungan di awal proyek. Di akhir proyek dan pasca proyek akan pula dihitung nilai delta setiap aktivitas ebagai bahan analisis evaluasi dampak yang ditimbulkan dari keberadaan proyek ini.
Perhitungan karbon
Sesuai dengan judul proyek yang menyinggung mengenai mitigasi perubahan cuaca, net carbon emissionakan dihitung untuk melihat sejauh mana dampak proyek ini memberikan kontribuasi pada mitigasi perubahan iklim. Hal itu dilakukan guna mendukung program pemerintah  Rencana Aksi Nasional/Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN/RAD GRK). Perhitungan “baseline data” kandungan karbon hutan di beberapa tipe hutan rakyat di FMU Gerbang Lestari akan dilakukan di awal proyek. Selain itu dihitung pula nilai serapan karbon di BEE pada waktu-waktu tertentu. Secara teknis, nilai total kandungan karbon pada tahun ke ((n+2)-n) akan menghasilkan nilai delta karbon.
Selain itu produk wood pellet sendiri sejatinya merupakan tipe energi terbarukan yagn bisa menggantikan bahan bakar fosil terutama batubara. Batubara yang tersimpan dalam perut bumi akan melepaskan gas karbondikoksida (CO2) jika dibakar sehingga menimbulkan emisi karbon yang cukup tinggi. Jika pemanfaatan wood pellet bisa menggantikan posisi batubara sebagai bahan bakar alternatif, maka CO2 yang dibebaskan ke udara sebagai hasil pembakaran merupakan carbon neutral. Artinya, karbon yang dilepas sama dengan karbon yang diserap.
Diharapkan gerakan penanaman kaliandara ini meluas tidak hanya di seputaran Kecamatan Geger. Tujuannyaagar dampak yang terjadi akan semakin luas sehingga memudahkan dalam menghitung level emisi pada areal yang lebih luas. Proyek ini sendiri secara khusus sejalan dengan gerakan program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) dalam rangka pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi, konservasi, manajemen pengelolaan  hutan berkelanjutan (sustainable management of forest) serta peningkatan cadangan karbon.
Daru Asycarya
Project Manager
Sumber :
http://greenmadura.or.id/2013/02/menyongsong-model-proyek-karbon-bangkalan/

Saturday, March 2, 2013

Pelet Kayu, Bahan Bakar Alternatif Rendah Emisi


BOGOR, Indonesia (27 Februari 2013)_Penggunaan wood pellet (pelet kayu) sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil untuk industri besar, kecil, dan rumah tangga menghasilkan emisi lebih rendah dibandingkan dengan minyak tanah dan gas.

“Pelet kayu termasuk ramah lingkungan. Selain emisi CO2 yang dikeluarkan dari hasil pembakarannya rendah, juga berasal dari bahan baku terbarukan yang bersifat carbon neutral,” jelas Gustan Pari, peneliti utama pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah), saat ditemui di Bogor, Selasa (26/2).

Pelet kayu dapat disebut sebagai carbon neutral karena dianggap tidak menambah emisi CO2 ke atmosfer. Semasa pertumbuhan, pohon ini telah menyerap CO2 dengan jumlah yang diserap dapat lebih besar daripada yang dilepaskan. “Bahkan bisa menjadi karbon negatif,” lanjut Gustan.

“Emisi CO2 dari pelet kayu sekitar sepuluh kali lebih rendah dibandingkan dengan batu bara dan bahan bakar minyak serta delapan kali lebih rendah daripada gas,” ungkap Ir. Subarudi, M.Wood, Sc., peneliti di Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak) di Bogor, Selasa (26/02), mengutip data yang disajikan oleh PT Solar Park Indonesia.

PT Solar Park Indonesia adalah industri yang telah menghasilkan pelet kayu skala komersial. Mereka bekerja sama dengan Perum Perhutani dalam hal penanaman kayu energi seperti kayu, kaliandra, kemladingan, dan gamal. Pelet kayu juga bisa dibuat dari tanaman energi lain seperti akasia auriculiformis, maesopsis, dan tanaman tertentu seperti pohon willow dan alder.

Pelet kayu digunakan sebagai sumber energi untuk pemanas ruangan pada musim dingin dan energi penghasil listrik (carbon for electricity). Pelet kayu dapat juga digunakan sebagai sumber energi di rumah tangga untuk keperluan memasak.  Pelet kayu menghasilkan rasio panas yang relatif tinggi antara output dan input-nya (19:1 hingga 20:1) dan energi sekitar 4,7kWh/kg.

Penelitian dan pemanfaatan pelet kayu didorong oleh kebutuhan adanya energi alternatif biomassa pengganti minyak bumi yang semakin mendesak karena harga minyak mentah yang akan terus meningkat dan akan habis. Selain itu, adanya upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), juga membuat pelet kayu menjadi salah satu pilihan tepat bagi masyarakat dan industri baik kecil, menengah, maupun besar.

Keunggulan lain pelet kayu adalah mengoptimalkan pemanfaatan berupa limbah seperti serbuk kayu sehingga mempunyai nilai jual yang lebih tinggi, yang biasanya dibuang begitu saja. Pelet kayu juga memberi nilai tambah pada proses pengolahan kayu serta meningkatkan  profitabilitas usaha kecil.

Pelet kayu berbentuk silindris dengan diameter 6-10 mm dan panjang 1-3 cm dan memiliki kepadatan rata-rata 650 kg/m3 atau 1,5 m3/ton. Pelet kayu dihasilkan dari berbagai bahan biomassa, terutama limbah serbuk gergaji dari pabrik penggergajian kayu dan serbuk limbah veneer dari pabrik kayu lapis atau palet daur ulang.

“Prosesnya sangat sederhana, bahan baku dikeringkan sampai kadar air maksimal 10% selanjutnya dipres dengan tekanan tinggi dan dipanaskan pada suhu sekitar 120-1800C, untuk proses kering. Sedangkan untuk proses basah bisa menggunakan bahan baku dengan kadar air tinggi, ditambah tepung kanji dan air kemudian dipres dengan tekanan tinggi tanpa pemanasan. Kedua sistem ini dilakukan secara kontinu,”  jelas Gustan lebih lanjut.

Nilai tambah

Berdasarkan data hasil penelitian pada Jurnal Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol.9 No.4 Desember tahun 2012, penggunaan pelet kayu sebagai bahan bakar dapat meningkatkan keuntungan usaha. Dalam jurnal tersebut, Dra. Setiasih Irawanti, M.S. dkk , menyatakan nilai tambah, keuntungan dan margin yang dihasilkan adalah paling tinggi ketika menggunakan bahan bakar sebetan dan pelet kayu, sebaliknya paling rendah ketika menggunakan gas.

Demikian pula kontribusi biaya input bahan bakar lebih rendah menggunakan sebetan dan pelet kayu, sebaliknya tertinggi bila menggunakan gas. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian nilai tambah pengolahan tahu di Kabupaten Banyumas dan Cianjur. Pada uji coba pengolahan tahu goreng menggunakan pelet kayu diperoleh nilai tambah pengolahan sebesar Rp 11.459 per kg kedelai, keuntungan sebesar Rp 8.309 per kg kedelai, dengan sumbangan input pelet kayu 13,5%. Sementara untuk penggunaan gas diperoleh nilai tambah Rp 8.160 per kg, keuntungan Rp 6.560 per kg, dan sumbangan input bahan bakar gas 17,4 %.

“Penggunaan bahan bakar gas secara teknis  dan ekonomis menarik untuk disubstitusi dengan bahan bakar biomassa, baik menggunakan sebetan atau pelet kayu. Memang pelet kayu adalah salah satu jenis bahan bakar biomassa yang belum dikenal oleh masyarakat atau bahkan belum beredar di pasardalam negeri sehingga masih perlu disosialisasikan,’’ ujar Setiasih.   (RW/FORDA)***


Ditulis oleh: Ratna Widyaningsih