Pada akhir 2012, dunia kembali diingatkan betapa berbahaya dampak perubahan iklim bagi manusia.
Di Amerika Serikat, badai Sandy memakan korban sedikitnya 125 jiwa. Di Filipina, 1.000 jiwa lebih jadi korban topan Bopha. Baru-baru ini diberitakan badai musim dingin kembali menelan korban di Amerika Serikat dan Rusia (Kompas, 28/12/2012). Harian ini juga memberitakan cuaca ekstrem yang terjadi di Irak dan Malaysia yang turut merenggut korban jiwa.
Bencana akibat perubahan iklim diperkirakan akan terus terjadi. Sekitar 100 juta orang terancam apabila masalah perubahan iklim tidak segera diatasi (DARA dan Climate Vulnerable Forum, 2012).
Mengapa rezim hukum perubahan iklim internasional belum efektif mengurangi dampak perubahan iklim? Jawaban singkatnya: sejumlah pemimpin dunia dan negosiator perubahan iklim, sejak berdirinya rezim hukum perubahan iklim internasional pada 1992, belum mampu memprioritaskan kepentingan dunia dan kepentingan generasi akan datang di atas kepentingan domestik jangka pendek.
Tunda-menunda
Pada 2012, usia rezim hukum perubahan iklim internasional mencapai 20 tahun. Selama 20 tahun rezim ini berjalan, tampak adanya permainan tunda-menunda dalam melaksanakan komitmen penurunan emisi.
Pada 1992, Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) disepakati, tetapi baru pada 1994 berlaku efektif secara hukum. Meski berupa traktat yang mengikat secara hukum, UNFCCC tak punya kesepakatan spesifik untuk menurunkan tingkat gas rumah kaca suatu negara.
Oleh karena itu, pada 1997 disepakatilah Protokol Kyoto. Namun, Protokol Kyoto baru berlaku efektif secara hukum pada 2005. Meskipun sudah berlaku efektif tahun 2005, Protokol Kyoto baru benar-benar efektif pada 2008, yaitu ketika ”komitmen pertama” penurunan emisi dari negara maju yang terdaftar dalam Annex B dimulai.
Komitmen pertama Protokol Kyoto yang kedaluwarsa pada akhir tahun 2012 telah disepakati diperpanjang mulai tahun 2013 sampai akhir tahun 2020. Meski demikian, penting digarisbawahi bahwa komitmen pengurangan emisi Protokol Kyoto tidak akan menyelesaikan masalah perubahan iklim secara maksimal selama negara penghasil emisi tinggi belum bergabung.
Perlu diingat, sampai saat ini AS belum meratifikasi Protokol Kyoto. Negara berkembang dengan tingkat emisi tinggi, seperti China dan India, tidak termasuk sebagai negara yang wajib menurunkan emisinya pada komitmen pertama ataupun kedua Protokol Kyoto. Padahal, AS, China, dan India memiliki tingkat emisi signifikan yang turut memperburuk dampak perubahan iklim secara global.
Dalam pertemuan Konferensi Para Pihak (COP) dari UNFCCC ke-17, tahun 2011, disepakati terbentuknya Ad Hoc Working Group on the Durban Platform (ADP). Fungsi utama ADP adalah mempersiapkan protokol, instrumen hukum, ataupun suatu kesepakatan mengikat secara hukum dalam hal penurunan emisi dari semua pihak paling lambat pada 2015. Tujuannya agar COP ke-21 tahun 2015 dapat menyepakati suatu produk hukum mengenai penurunan emisi yang akan dilaksanakan pada 2020.
Apabila produk hukum pada 2015 berhasil disepakati, negara berkembang emisi tinggi, seperti China dan India, akan turut menurunkan tingkat emisinya mulai 2020. Namun, lagi-lagi kita melihat permainan tunda-menunda terjadi kembali. Nasib ratusan juta jiwa yang terancam akibat dampak perubahan iklim ditunda sampai 2015. Setelah tahun 2015, dunia kembali menunggu sampai tahun 2020.
Resolusi 2013
Waktu sangat berharga. Tahun 2013 harus dijadikan momentum bagi semua negara untuk lebih serius mengatasi masalah perubahan iklim.
Jika para pemimpin dunia dan negosiator perubahan iklim benar-benar serius ingin mengatasi masalah perubahan iklim, naskah protokol atau instrumen hukum baru yang mengikat semua pihak dalam menurunkan emisinya seharusnya dapat selesai pada 2013. COP ke-19 akhir tahun 2013 nanti dapat dijadikan ajang untuk menyepakati produk hukum tersebut. Tak perlu menunggu sampai tahun 2015.
Idealnya, produk hukum tersebut harus berlaku efektif secara hukum dengan cepat. Paling tidak mulai tahun 2014. Tak perlu menunggu sampai tahun 2020. Korban akan terus berjatuhan apabila permainan tunda-menunda terus dilaksanakan.
Sesuai mandatnya, ADP harus jadi panglima dalam merumuskan naskah tersebut. Pihak lain, seperti organisasi internasional serta LSM yang peduli dengan isu perubahan iklim, juga dapat turut menyumbang naskah produk hukum tersebut. Indonesia pun dapat turut menyumbang naskah tersebut jika Indonesia benar-benar serius ingin mengatasi masalah perubahan iklim.
Naderev Sano, salah seorang delegasi dari Filipina, menyampaikan suatu pernyataan menggugah pada pertemuan perubahan iklim di Doha pada Desember 2012 (COP ke-18). Sano mengatakan, ”Saya bertanya kepada semua yang ada di sini. Kalau bukan kita, kemudian siapa? Kalau tidak sekarang, kemudian kapan? Kalau tidak di sini, di mana?”
Semoga COP ke-19 di Polandia akhir tahun 2013 nanti dapat mengakhiri permainan tunda-menunda di rezim hukum perubahan iklim internasional.
Handa S Abidin
Pengajar Tamu Mata Kuliah Hukum Perubahan Iklim Internasional di University of Edinburgh, Inggris
Sumber :
http://sains.kompas.com/read/2013/01/07/02224632/Resolusi.2013.dan.Perubahan.Iklim
0 comments:
Post a Comment
Silakan memberikan komentar :) terimakasih sudah berkunjung ke forestforlife.web.id