Dilandasi oleh kesadaran pentingnya fungsi hutan, PBB kemudian meluncurkan program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan atau dikenal dengan nama UN-REDD (United Nations-Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) pada 2008.
Program yang memeroleh pendanaan awal dari pemerintah Norwegia sebesar US$35 juta ini membantu beberapa negara memersiapkan program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus) yaitu aksi REDD yang disertai upaya konservasi dan peningkatan fungsi penyimpanan karbon melalui sistem pengelolaan hutan yang lestari.
“Ide program ini muncul dari keinginan untuk mengurangi 15-17% emisi karbon dunia yang berasal dari deforestasi dan kerusakan hutan,” ujar Julie Greenwalt dari UNEP. “Hutan berfungsi menyimpan karbon. Saat hutan ditebang, karbon akan terlepas ke atmosfer. Jumlah emisinya lebih tinggi dari emisi yang dihasilkan oleh sektor transportasi, sehingga fungsi hutan sangat penting dalam mencegah perubahan iklim.”
“Hutan juga berperan penting dalam pembangunan suatu negara. Saat Amerika Serikat, Inggris dan sebagian besar negara Eropa membangun, mereka mengonsumsi sebagian besar sumber daya alam mereka. Akibatnya, hutan-hutan yang kaya karbon kebanyakan ada di negara berkembang,” tambahnya lagi. “Upaya memberikan insentif ke negara-negara berkembang untuk membantu mereka membangun sekaligus melestarikan hutan menjadi penting.”
Menurut UNEP, masing-masing negara memiliki sejarah deforestasi yang berbeda. Di Nigeria, misalnya, tingkat deforestasi sangat tinggi, mencapai 3,4% per tahun. Namun jika Nigeria mampu mengurangi emisi dari hutan melalui program REDD+ mereka akan memeroleh kompensasi melalui pendanaan karbon.
Dan hutan tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan karbon. Program ini – jika diterapkan dengan baik – akan memberikan banyak manfaat – mulai dari konservasi tanaman, penyimpanan air, produk-produk kehutanan hingga melindungi keanekaragaman hayati.
Keterkaitan hutan dan masyarakat adat juga sangat erat. Sehingga harus ada upaya melibatkan mereka dalam program REDD+.
Menurut Victor Illescas Lopez, dari Assosiasi Komunitas Hutan Guatemala, terdapat 50 juta hektar hutan di Amerika Tengah yang berada dalam wilayah dan pengelolaan masyarakat adat. Mereka bisa mengembangkan mekanisme REDD+ mereka sendiri sesuai dengan sistem pengelolaan hutan yang terintegrasi termasuk karbon.
“Dengan adanya REDD+ yang memiliki beragam manfaat, kami bisa bicara dalam bahasa yang sama, bukan hanya soal karbon namun juga tentang upaya pengentasan kemiskinan.”
Dari Indonesia, Ketua Delegari RI untuk COP18, Rachmat Witoelar, minggu lalu (7/12) menyatakan, hutan adalah barikade terakhir upaya memerangi dampak perubahan iklim. Dan REDD+, menurut Dr. Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Satgas REDD+, berperan penting dalam mengurangi emisi di Indonesia dan menjadi bagian penting dalam strategi pembangunan nasional yang pro-job, pro-poor, pro-growth dan pro-environment.
Saat ini Indonesia telah memiliki 2 provinsi percontohan REDD, yaitu di Kalimantan Tengah di bawah kerjasama Indonesia dengan Norwegia dan di Sulawesi Tengah di bawah program UN-REDD Indonesia.
Sumber :
http://www.hijauku.com/2012/12/13/hutan-redd-dan-perubahan-iklim/
0 comments:
Post a Comment
Silakan memberikan komentar :) terimakasih sudah berkunjung ke forestforlife.web.id