Pages

Sunday, February 3, 2013

Dr. Yetti Rusli : Drastis! Indonesia tekan laju deforestasi


Metrotvnes.com, Pekanbaru: Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengklaim telah berhasil menahan laju deforestasi hutan selama 10 tahun terakhir.

Namun klaim tersebut sering tidak dianggap dunia internasional yang selalu mengakses data keliru tentang kerusakan hutan Indonesia.

Staf Ahli Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim Menteri Kehutanan, DR Yetti Rusli, Minggu, (3/2), mengatakan data pihak asing yang banyak kekeliruan menyudutkan pemerintah Indonesia di dunia internasional.

"Data deforestasi yang dikeluarkan pihak asing banyak ngawur. Saya mempertaruhkan jabatan saya, bahwa semua itu keliru," Yetti.

Sejumlah organisasi pemerhati lingkungan dinilainya kerap membuat data laju deforestasi yang tidak sesuai dengan kenyataan dan pemetaan pemerintah Indonesia.

Salah satunya dengan memasukan data pembukaan lahan pada hutan produksi untuk hutan tanaman industri (HTI) dan kelapa sawit.

"Padahal, kenyataannya lahan itu ditanami kembali namun oleh mereka tidak diperhitungkan. Dengan data semacam itu, bagaimana bisa dipercaya," ungkapnya.

Menurutnya pemerintah melalui sejumlah kebijakan telah menekan laju deforestasi. Menggunakan data citra satelit Landsat, bisa dilihat bahwa laju deforestasi Indonesia terus menunjukan tren penurunan dari periode 2000 hingga 2011.

Harus diakui, lanjutnya, periode 2000-2003, merupakan puncak dari deforestasi di Indonesia, karena laju kerusakan mencapai 3,51 juta hektare (ha) per tahun. Rinciannya yakni kerusakan di kawasan hutan 2,83 juta ha per tahun, dan kerusakan di kawasan nonkehutanan 0,68 ha.

Namun, ia mengatakan laju deforestasi sudah menurun drastis pada 2011 yakni tinggal 0,45 juta ha per tahun. Bahkan, pemerintah Indonesia berharap bisa terus menekan deforestasi.

Data ini, lanjutnya sudah pernah disampaikannya pada sidang United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCC) di Doha. "Data ini mengagetkan banyak orang, banyak yang tidak percaya. Saya katakan, negara mana yang bisa menekan laju deforestasi sedrastis Indonesia," ujarnya.

Ia menilai kebijakan-kebijakan untuk menekan laju deforestasi pemerintah Indonesia sudah terbukti. Salah satunya dengan memerangi pembalakan liar dan perdagangan kayu log (gelondongan) dengan melibatkan berbagai instansi pemerintah serta aparat keamanan. Termasuk moratorium kehutanan.

Namun, ia menyayangkan banyak pihak dari luar negeri yang meragukan data laju deforestasi yang dirilis pemerintah.

Menurutnya, hal ini terjadi karena sarat dengan motif bisnis untuk menjegal kebangkitan ekonomi nasional dari sektor industri kehutanan dan kelapa sawit.

"Bagi pihak yang meragukan turunnya laju deforestasi Indonesia, silakan mengukurnya sendiri tentunya dengan cara yang sesuai dan benar," ungkapnya.

Hal senada juga diutarakan oleh Ketua Tim MRV (measurement, reporting dan verification) Kemenhut Prof Budi Indra Setiawan.

Menurutnya banyak Non Government Organization (NGO) baik lokal maupun asing yang sering salah merilis data estimasi pelepasan karbon. Hal tersebut dinilainya hanya menimbulkan kerugian bagi pemerintah dan penyesatan informasi bagi publik.

"Kekeliruan estimasi pelepasan karbon yang kerap terjadi adalah dengan mengambil sampel di sejumlah titik. Kemudian mengkonversinya menjadi perhitungan untuk satu tahun. Padahal, penghitungan semacam itu keliru karena pelepasan karbon nilainya akan sangat fluktuatif, tidak bisa dirata-ratakan," ujarnya.

Ia mengatakan pemerintah membentuk Tim MRV guna mengkaji salah satunya mengenai pelepasan emisi di lahan gambut yang dikelola untuk HTI di Semenanjung Kampar, Riau. Dalam hal ini, lanjutnya penghitungan dilakukan di konsesi PT RAPP yang selama ini menggunakan manajemen tata kelola ketinggian air pada lahan gambut. (Bagus Himawan/Win)

Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Kusnan Rahmin (kiri) dan Staf Ahli Menteri Kehutanan Yetti Rusli (tengah) mendengarkan penjelasan Ketua Tim MRV Kemenhut Prof. Budi Setiawan (kanan) tentang alat pengukur emisi karbon di lahan gambut konsesi hutan tanaman industri RAPP di Teluk Meranti Kabupaten Pelalawan, Riau, Selasa lalu (29/1). Ilmuwan Jepang dari Universitas Utsonomiya menginvestasikan alat senilai Rp. 1 miliar itu ntuk mengukur emisi karbon di lahan gambut hutan tanaman industri yang dikelola RAPP dengan manajemen ketinggian air sebagai bentuk mitigasi pemanasan global.

Sumber :

0 comments:

Post a Comment

Silakan memberikan komentar :) terimakasih sudah berkunjung ke forestforlife.web.id