Pages

Hutan Kunci Bagi Sasaran Pembangunan

Hutan dunia memainkan perang penting dalam peralihan ke ekonomi hijau, tapi pemerintah perlu berbuat lebih banyak guna menjamin hutan tersebut dikelola secara berkelanjutan

Pelet Kayu, Bahan Bakar Alternatif Rendah Emisi

Penggunaan wood pellet (pelet kayu) sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil untuk industri besar, kecil, dan rumah tangga menghasilkan emisi lebih rendah dibandingkan dengan minyak tanah dan gas.

COP19 Warsawa : Indonesia Paparkan Inisiatif Hijau Dalam Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung

"Green Initiatives on Protected Forest, Production Forest and National Parks" COP-19/CMP-9 UNFCCC, Warsawa, Polandia (15/11/2013).

Forest Landscape Restoration: Enhancing more than carbon stocks

ITTO co-hosted a discussion forum on “Forest Landscape Restoration: Enhancing more than carbon stocks” at Forest Day 6, convened during UNFCCC COP18 in Doha, Qatar.

Wednesday, February 27, 2013

Hutan, REDD+ dan Perubahan Iklim


Hutan berperan penting dalam perang melawan perubahan iklim. Hutan juga menjadi kunci pertumbuhan ekonomi. Kerusakan hutan melepas emisi gas rumah kaca yang lebih besar dibanding emisi dari sektor transportasi. Informasi ini terungkap dalam berita Program Lingkungan PBB (UNEP) yang dirilis Selasa (11/12).

Dilandasi oleh kesadaran pentingnya fungsi hutan, PBB kemudian meluncurkan program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan atau dikenal dengan nama UN-REDD (United Nations-Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) pada 2008.

Program yang memeroleh pendanaan awal dari pemerintah Norwegia sebesar US$35 juta ini membantu beberapa negara memersiapkan program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus) yaitu aksi REDD yang disertai upaya konservasi dan peningkatan fungsi penyimpanan karbon melalui sistem pengelolaan hutan yang lestari.

“Ide program ini muncul dari keinginan untuk mengurangi 15-17% emisi karbon dunia yang berasal dari deforestasi dan kerusakan hutan,” ujar Julie Greenwalt dari UNEP. “Hutan berfungsi menyimpan karbon. Saat hutan ditebang, karbon akan terlepas ke atmosfer. Jumlah emisinya lebih tinggi dari emisi yang dihasilkan oleh sektor transportasi, sehingga fungsi hutan sangat penting dalam mencegah perubahan iklim.”

“Hutan juga berperan penting dalam pembangunan suatu negara. Saat Amerika Serikat, Inggris dan sebagian besar negara Eropa membangun, mereka mengonsumsi sebagian besar sumber daya alam mereka. Akibatnya, hutan-hutan yang kaya karbon kebanyakan ada di negara berkembang,” tambahnya lagi. “Upaya memberikan insentif ke negara-negara berkembang untuk membantu mereka membangun sekaligus melestarikan hutan menjadi penting.”

Menurut UNEP, masing-masing negara memiliki sejarah deforestasi yang berbeda. Di Nigeria, misalnya, tingkat deforestasi sangat tinggi, mencapai 3,4% per tahun. Namun jika Nigeria mampu mengurangi emisi dari hutan melalui program REDD+ mereka akan memeroleh kompensasi melalui pendanaan karbon.

Dan hutan tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan karbon. Program ini – jika diterapkan dengan baik – akan memberikan banyak manfaat – mulai dari konservasi tanaman, penyimpanan air, produk-produk kehutanan hingga melindungi keanekaragaman hayati.

Keterkaitan hutan dan masyarakat adat juga sangat erat. Sehingga harus ada upaya melibatkan mereka dalam program REDD+.

Menurut Victor Illescas Lopez, dari Assosiasi Komunitas Hutan Guatemala, terdapat 50 juta hektar hutan di Amerika Tengah yang berada dalam wilayah dan pengelolaan masyarakat adat. Mereka bisa mengembangkan mekanisme REDD+ mereka sendiri sesuai dengan sistem pengelolaan hutan yang terintegrasi termasuk karbon.

“Dengan adanya REDD+ yang memiliki beragam manfaat, kami bisa bicara dalam bahasa yang sama, bukan hanya soal karbon namun juga tentang upaya pengentasan kemiskinan.”

Dari Indonesia, Ketua Delegari RI untuk COP18, Rachmat Witoelar, minggu lalu (7/12) menyatakan, hutan adalah barikade terakhir upaya memerangi dampak perubahan iklim. Dan REDD+, menurut Dr. Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Satgas REDD+, berperan penting dalam mengurangi emisi di Indonesia dan menjadi bagian penting dalam strategi pembangunan nasional yang pro-job, pro-poor, pro-growth dan pro-environment.

Saat ini Indonesia telah memiliki 2 provinsi percontohan REDD, yaitu di Kalimantan Tengah di bawah kerjasama Indonesia dengan Norwegia dan di Sulawesi Tengah di bawah program UN-REDD Indonesia.

Sumber :
http://www.hijauku.com/2012/12/13/hutan-redd-dan-perubahan-iklim/

Sunday, February 24, 2013

Resolusi 2013 dan Perubahan Iklim

Pada akhir 2012, dunia kembali diingatkan betapa berbahaya dampak perubahan iklim bagi manusia.

Di Amerika Serikat, badai Sandy memakan korban sedikitnya 125 jiwa. Di Filipina, 1.000 jiwa lebih jadi korban topan Bopha. Baru-baru ini diberitakan badai musim dingin kembali menelan korban di Amerika Serikat dan Rusia (Kompas, 28/12/2012). Harian ini juga memberitakan cuaca ekstrem yang terjadi di Irak dan Malaysia yang turut merenggut korban jiwa.

Bencana akibat perubahan iklim diperkirakan akan terus terjadi. Sekitar 100 juta orang terancam apabila masalah perubahan iklim tidak segera diatasi (DARA dan Climate Vulnerable Forum, 2012).

Mengapa rezim hukum perubahan iklim internasional belum efektif mengurangi dampak perubahan iklim? Jawaban singkatnya: sejumlah pemimpin dunia dan negosiator perubahan iklim, sejak berdirinya rezim hukum perubahan iklim internasional pada 1992, belum mampu memprioritaskan kepentingan dunia dan kepentingan generasi akan datang di atas kepentingan domestik jangka pendek.

Tunda-menunda

Pada 2012, usia rezim hukum perubahan iklim internasional mencapai 20 tahun. Selama 20 tahun rezim ini berjalan, tampak adanya permainan tunda-menunda dalam melaksanakan komitmen penurunan emisi.

Pada 1992, Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) disepakati, tetapi baru pada 1994 berlaku efektif secara hukum. Meski berupa traktat yang mengikat secara hukum, UNFCCC tak punya kesepakatan spesifik untuk menurunkan tingkat gas rumah kaca suatu negara.

Oleh karena itu, pada 1997 disepakatilah Protokol Kyoto. Namun, Protokol Kyoto baru berlaku efektif secara hukum pada 2005. Meskipun sudah berlaku efektif tahun 2005, Protokol Kyoto baru benar-benar efektif pada 2008, yaitu ketika ”komitmen pertama” penurunan emisi dari negara maju yang terdaftar dalam Annex B dimulai.

Komitmen pertama Protokol Kyoto yang kedaluwarsa pada akhir tahun 2012 telah disepakati diperpanjang mulai tahun 2013 sampai akhir tahun 2020. Meski demikian, penting digarisbawahi bahwa komitmen pengurangan emisi Protokol Kyoto tidak akan menyelesaikan masalah perubahan iklim secara maksimal selama negara penghasil emisi tinggi belum bergabung.

Perlu diingat, sampai saat ini AS belum meratifikasi Protokol Kyoto. Negara berkembang dengan tingkat emisi tinggi, seperti China dan India, tidak termasuk sebagai negara yang wajib menurunkan emisinya pada komitmen pertama ataupun kedua Protokol Kyoto. Padahal, AS, China, dan India memiliki tingkat emisi signifikan yang turut memperburuk dampak perubahan iklim secara global.

Dalam pertemuan Konferensi Para Pihak (COP) dari UNFCCC ke-17, tahun 2011, disepakati terbentuknya Ad Hoc Working Group on the Durban Platform (ADP). Fungsi utama ADP adalah mempersiapkan protokol, instrumen hukum, ataupun suatu kesepakatan mengikat secara hukum dalam hal penurunan emisi dari semua pihak paling lambat pada 2015. Tujuannya agar COP ke-21 tahun 2015 dapat menyepakati suatu produk hukum mengenai penurunan emisi yang akan dilaksanakan pada 2020.

Apabila produk hukum pada 2015 berhasil disepakati, negara berkembang emisi tinggi, seperti China dan India, akan turut menurunkan tingkat emisinya mulai 2020. Namun, lagi-lagi kita melihat permainan tunda-menunda terjadi kembali. Nasib ratusan juta jiwa yang terancam akibat dampak perubahan iklim ditunda sampai 2015. Setelah tahun 2015, dunia kembali menunggu sampai tahun 2020.

Resolusi 2013

Waktu sangat berharga. Tahun 2013 harus dijadikan momentum bagi semua negara untuk lebih serius mengatasi masalah perubahan iklim.

Jika para pemimpin dunia dan negosiator perubahan iklim benar-benar serius ingin mengatasi masalah perubahan iklim, naskah protokol atau instrumen hukum baru yang mengikat semua pihak dalam menurunkan emisinya seharusnya dapat selesai pada 2013. COP ke-19 akhir tahun 2013 nanti dapat dijadikan ajang untuk menyepakati produk hukum tersebut. Tak perlu menunggu sampai tahun 2015.

Idealnya, produk hukum tersebut harus berlaku efektif secara hukum dengan cepat. Paling tidak mulai tahun 2014. Tak perlu menunggu sampai tahun 2020. Korban akan terus berjatuhan apabila permainan tunda-menunda terus dilaksanakan.

Sesuai mandatnya, ADP harus jadi panglima dalam merumuskan naskah tersebut. Pihak lain, seperti organisasi internasional serta LSM yang peduli dengan isu perubahan iklim, juga dapat turut menyumbang naskah produk hukum tersebut. Indonesia pun dapat turut menyumbang naskah tersebut jika Indonesia benar-benar serius ingin mengatasi masalah perubahan iklim.

Naderev Sano, salah seorang delegasi dari Filipina, menyampaikan suatu pernyataan menggugah pada pertemuan perubahan iklim di Doha pada Desember 2012 (COP ke-18). Sano mengatakan, ”Saya bertanya kepada semua yang ada di sini. Kalau bukan kita, kemudian siapa? Kalau tidak sekarang, kemudian kapan? Kalau tidak di sini, di mana?”

Semoga COP ke-19 di Polandia akhir tahun 2013 nanti dapat mengakhiri permainan tunda-menunda di rezim hukum perubahan iklim internasional.

Handa S Abidin
Pengajar Tamu Mata Kuliah Hukum Perubahan Iklim Internasional di University of Edinburgh, Inggris

Sumber :
http://sains.kompas.com/read/2013/01/07/02224632/Resolusi.2013.dan.Perubahan.Iklim

Thursday, February 21, 2013

Menteri Norwegia : Indonesia berbuat banyak terkait REDD+

Nairobi (ANTARA News) - Pemerintah Norwegia melihat Indonesia telah berbuat banyak untuk menanggulangi penggundulan hutan dan dampak perubahan iklim, kata Menteri Lingkungan Hidup Norwegia Bard Vegar Solhjell.

Menteri Solhjell dalam sesi pertemuan dengan wartawan di Markas Program Lingkungan PBB (UNEP) di Nairobi, Kenya, Selasa, juga menegaskan bahwa hibah Norwegia tetap berlaku sesuai dengan komitmen yang dibuat sebagai bagian dari kerja sama di bidang kehutanan dan penanggulangan dampak perubahan iklim.

"Kami bekerja sama dengan sejumlah negara sebagai mitra. Bagi Norwegia, Indonesia khususnya memiliki nilai yang sangat strategis sebagai pemilik hutan tropis yang besar guna mengurangi emisi gas rumah kaca," katanya.

Menurut dia, hibah senilai 1 miliar dolar AS diberikan jika Indonesia melakukan langkah-langkah dan membuat program-program sesuai dengan kesepakatan.

"Sejauh ini, Norwegia dan Indonesia fokus pada kerja sama di bidang lingkungan hidup, terutama kehutanan dan penanggulangan dampak perubahan iklim," katanya.


Ketika ditanya soal tingkat penggundulan hutan di Indonesia, Solhjell berpendapat bahwa Indonesia berusaha keras untuk mengatasinya dan para pihak terkaitnya mengambil tindakan atas para pelanggar.

IPCC, lembaga yang bekerja sama dengan UNEP, menyatakan dalam penilaiannya bahwa lebih dari 30 persen dari emisi gas rumah kaca berasal dari penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan sektor kehutanan, serta 18--20 persen diperkirakan berasal langsung dari penggundulan dan degradasi hutan.

Mengawali gilirannya untuk berbicara, Menteri Solhjell bercerita bahwa dirinya semasa muda pada tahun 1969 pernah berkunjung ke Indonesia dan pergi ke Kalimantan yang mimiliki hutan.

"Saya sangat terkesan dengan hutan-hutan di Kalimantan," katanya.

Norwegia merupakan salah satu mitra utama Indonesia di Eropa, termasuk dalam pengembangan kerja sama di bidang lingkungan hidup. Kedua negara itu menandatangani LoI (Letter of Intent) di Oslo pada tanggal 26 Mei 2010 mengenai pemberian dana (hibah) sampai dengan 1 miliar dolar AS (Rp9,4 triliun) kepada Indonesia dalam rangka kerja sama di bidang kehutanan dan penanggulangan dampak perubahan iklim,

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa berkunjung ke Oslo dan bertemu Menteri Pembangunan Internasional Norwegia, Heikki Holmas, April lalu.

Kedua Menteri membahas capaian kerja sama kedua negara di bidang kehutanan dan penanggulangan dampak perubahan iklim.

Menanggapi kerja sama ini, Menlu Marty menyampaikan apresiasi yang tinggi atas bantuan dan dukungan pemerintah Norwegia, terutama dalam implementasi berbagai kemitraan di bidang REDD+.

Sebagai tindak lanjut implementasi LoI, Indonesia telah melaksanakan beberapa prioritas, seperti pembentukan REDD+ Agency dan instrumen pendanaan (funding instrument), penyusunan Strategi Nasional REDD+ dan pembentukan sistem MRV (monitoring, reporting and verification).

Beberapa kemajuan yang telah dilakukan Indonesia adalah pembentukan Satgas REDD+ baru melalui Keppres Nomor 25 Tahun 2011, penandatangan MoU antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Satgas REDD+ mengenai pilot project REDD+, dan dikeluarkannya draf final Strategi Nasional REDD+ untuk memberi arah bagi solusi komprehensif terhadap penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan.

Kedua Menteri membahas capaian kerja sama kedua negara di bidang kehutanan dan penanggulangan dampak perubahan iklim. Salah satu capaian utama hubungan bilateral RI-Norwegia terletak di bidang kerja sama kehutanan dan penanggulangan dampak perubahan iklim.

Norwegia dan Indonesia menyadari bahwa perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dunia saat ini.

Pada bulan Oktober 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi CO2 Indonesia hingga 26 persen pada tahun 2020.

Komitmen itu terbesar yang pernah diutarakan oleh negara berkembang. Indonesia telah menetapkan target absolut dan Norwegia ingin membantu upaya pemerintah Indonesia mencapai komitmen tersebut.

Norwegia seperti negara-negara lain harus berupaya keras untuk berubah menjadi masyarakat yang rendah emisi, dan harus memimpin dalam pengurangan emisi domestik.

(M016/D007)
Editor: Ruslan Burhani

Sumber :
http://www.antaranews.com/berita/359206/menteri-norwegia-nilai-indonesia-berbuat-banyak-terkait-redd

Saturday, February 16, 2013

Pesisir Selatan Sumbar Rehabilitasi Hutan 250 Ha


Painan, Sumbar (ANTARA News) - Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Wilayah III Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat akan merehabilitasi hutan di wilayah itu seluas 250 hektare (ha) pada 2013.

"Rehabilitasi akan dilakukan dengan menanam kembali kawasan hutan TNKS yang mulai gundul dengan berbagai jenis kayu kayuan," demikian dikatakan Kepala Seksi (Kasi) TNKS Wilayah III Pesisir Selatan, Kamaruzzaman di Painan, Kamis.



Program rehabilitasi hutan areal TNKS tersebut akan dilakukan di sejumlah kecamatan di kabupaten itu yang hutannya mengalami kondisi kritis. Pada lahan itu TNKS akan menanam bibit kayu kayuan yang dapat dimanfaatkan masyarakat setempat.

Menurut ia, kerusakan hutan di kabupaten itu terjadi akibat aktivitas masyarakat yang tidak memperhatikan lingkungan dengan melakukan perambahan hutan.  Aktivitas itu, sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu sehingga dampaknya hingga kini masih dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah hutan.

"Kerusakan hutan berupa areal perambahan dikarenakan aktivitas pembukaan lahan perkebunan oleh masyarakat di sekitar kawasan TNKS, " ujar dia.

Dalam mengantisipasi bertambahnya kerusakan hutan tersebut, selama ini TNKS telah melakukan berbagai kegiatan seperti razia penertiban gabungan, patroli pengawasan, pendidikan konservasi, penyuluhan dan sosialisasi tentang arti pentingnya keberadaan hutan TNKS.

Mulai 2010, rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dilakukan pada kawasan TNKS di Kecamatan Pancung Soal dan Basa Ampek Balai Tapan seluas 100 hektar.

Pada 2011, TNKS kembali melakukan RHL di Kampung Tanjung Gadang Nagari Ampiang Parak Timur Kecamatan Sutera dengan luas lahan 250 hektare dengan 100 ribu batang bibit kayu kayuan.

Tahun lalu (2012), TNKS juga melakukan penanaman dengan program RHL yang diprioritaskan pada lahan sangat seluas 860 hektare di dua Kecamatan yakni Sutera dan Lengayang.

Sedangkan tindakan yang telah dilakukan kepada penebang dan perusak hutan tersebut yakni berupa pembongkaran gubuk yang berada dalam hutan TNKS, penyitaan alat gergaji penebang kayu (chainsaw) dan pemusnahan barang bukti hasil temuan.

Selain itu TNKS juga melakukan penanaman kembali dengan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang berlangsung sejak tiga tahun terakhir.

Ia mengimbau masyarakat agar turut serta melestarikan hutan di lingkungan sekitarnya sehingga banjir bandang dan bencana lainnya akibat kegundulan hutan dapat diminimalisir.
(E008)

Sumbar :
http://www.antaranews.com/berita/355904/pesisir-selatan-rehabilitasi-hutan-250-ha

Friday, February 15, 2013

Kisah Ruwi mengelola hutan (Peraih Penghargaan Magsaysay 2012)


Ambrosius Ruwindrijarto, alias Ruwi, 

meraih penghargaan Ramon Magsaysay 2012.

Pernah disekap dan diancam akan dibunuh, aktivis lingkungan Ruwi tetap melibatkan masyarakat untuk membangun sistem tandingan dalam pengelolaan sumber daya alam.

Ketika langit kota Bogor berubah menjadi kelabu, sore itu saya tiba di Kafe Telapak. Lokasinya tidak jauh dari Terminal Baranangsiang, Bogor.
Sesuai namanya, kafe itu memang dikelola oleh LSM Telapak, yang dulu didirikan oleh Ambrosius Ruwindrijarto alias Ruwi dan teman-temannya di tahun 1996.
Dihadiri belasan pengunjung, sore itu tengah digelar peluncuran dan diskusi buku. Ruwi, kelahiran 1971, adalah salah-satu pembicaranya.
"Daripada sewa kantor, toh kita hanya perlu tempat untuk rapat, terima tamu, jadi kita bikin saja kafe saja," jawab Ruwi, seraya tertawa, dalam wawancara dengan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Sabtu (29/09), tentang latar belakang pendirian kafe itu.
Di sela-sela diskusi, dan sempat diwarnai hujan deras, ayah satu anak ini menjawab pertanyaan tentang awal mula pendirian LSM Telapak.
"Sejak awal," kata Ruwi," kita ingin organisasi ini tidak hanya milik kami pendirinya, tapi juga milik siapa saja yang ingin memperjuangkan kelestarian dan kerakyatan."
Di sinilah mereka kemudian mengundang siapapun yang ingin bergabung, hingga akhirnya perkumpulan itu berkembang dan beranggotakan 240 orang, saat ini.
Selain menitikberatkan pada upaya penyelidikan, dokumentasi dan kampanye terhadap persoalan "kejahatan lingkungan", Telapak juga bekerja sama langsung dengan masyarakat terkait isu lingkungan.
Melibatkan masyarakat adat, petani dan nelayan, Ruwi dan kawan-kawan terus mencoba "menciptakan sistem dan praktek pengelolaan alam yang lestari".
Dia mencontohkan kerja sama dengan masyarakat adat di Sungai Utik di Kalimantan Barat.
Bersama LSM Telapak, Ruwi melibatkan masyarakat untuk menciptakan sistem tandingan dalam pengelolaaan sumber daya alam.
"Mereka dari dulu mengelola hutan, tapi kemudian mereka diakui secara resmi sebagai pengelola hutan yang lestari. Mereka memperoleh sertifikat Lembaga Ekolable Indonesia (LEI)," jelasnya.
Di Sulawesi Tenggara, mereka juga bekerja bersama masyarakat petani hutan dengan membentuk koperasi.
"Koperasinya mengelola hutan dan memperoleh pengakuan internasional dalam bentuk misalnya sertifikat dari Forest Stewardship Council (FSC). Artinya, mereka diakui bahwa produk dari hutan yang lestari".
Lainnya? Ruwi, dengan agak bersemangat, menyebut kerjasama dengan masyarakat petani di Yogyakarta: "Mereka berkumpul, beroganisasi dalam bentuk koperasi, kemudian koperasinya mengelola hutan rakyat. Mereka memproduksi kayu secara berkelanjutan, dan hutannya tetap lestari".
Kerjasama serupa juga dilakukan Telapak di Lampung. "...Sehingga mereka memperoleh sertifikat legalitas kayu".

Diancam dibunuh

Sebagai aktivis yang peduli terhadap persoalan lingkungan, ayah satu anak itu pernah disekap, disiksa dan diancam untuk dibunuh.
Bersama rekannya dari sebuah LSM asal Inggris, Ruwi pernah disekap, disiksa dan diancam dibunuh saat melakukan investigasi di Kalimantan Tengah.
Hal itu dia alami ketika LSM Telapak dan sebuah LSM lingkungan asal Inggris melakukan investigasi membongkar praktek penebangan liar dan penyelundupan kayu, yang diduga melibatkan perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) di sebuah Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah.
"Di sana", kata Ruwi mengenang kejadian pahit di tahun 1999 itu, "kami diambil dan dinterogasi dan bahkan dipukuli dari grup illegal logging, tapi bukan pelaku di lapangan, melainkan pemodal dan pengendalinya".
Sebelumnya, Ruwi dan rekanannya melakukan investigasi di lokasi penebangan liar dan penyelundupan kayu.
Menempuh kegiatan berbahaya, anak keempat dari lima bersaudara ini mendokumentasikan kejadian itu melalui kamera video tersembunyi serta berupa foto-foto. Dia juga mengumpukan data-data melalui wawancara serta menyaksikan langsung praktek seperti itu di lokasi.
"Laporan itu menyodorkan bukti-bukti video, foto, cerita, data, tentang illegal logging, siapa pelakunya, siapa cukongnya, siapa pembelinya, siapa pengangkutnya, dan seterusnya... Bukan hanya angka dan data, tapi juga ada nama-nama yang kami temukan dan sebut di sana," katanya.
Hasil investigasi itu kemudian diluncurkan dalam sebuah laporan yang diberi judul The Cut. Rencananya laporan itu akan dipresentasikan dalam forum CGI, forum negara-negara maju untuk mendukung program pembangunan di Indonesia, kata Ruwi.
"Dalam kepentingan itu saya (dan rekannya dari LSM lingkungan Inggris) berkunjung ke Kalimantan Tengah utuk investigasi dan konfirmasi beberapa informasi yang kami temukan," ungkapnya.
Tetapi, "Di sana kami diambil dan diinterogasi dan bahkan dipukuli..."
Ketika saya hendak mendalami lebih lanjut apa yang dia alami, Ruwi terkesan enggan untuk mengungkapnya.
Dengan agak lirih, Ruwi hanya berujar: "Ya, itu menjadi tantangan besar kepada saya pribadi. Sayat takut pada kekerasan. Saya tidak pernah berkelahi..."

Penghargaan Ramon Magsaysay 2012

Pada pekan ketiga Juli lalu, ketika tengah menyetir mobilnya, telepon genggam Ruwi berbunyi nyaring.
Ruwi agak kaget, ketika sang penelepon mengaku sebagai Presiden Ramon Magsaysay Award Foundation, Carmencita Abella.
Ruwi dan lima orang lainnya asal negara-negara di Asia yang mendapat penghargaan Ramon Magsaysay 2012.
Dalam pembicaraan lewat telepon itulah, Ruwi diberitahu bahwa dia memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay 2012 bersama lima orang lainnya dari beberapa negara di Asia.
Penghargaan Ramon Magsaysay, yang pertama kali diberikan pada 1957, sering disebut sebagai Hadiah Nobel Asia.
Nama tersebut diambil dari sosok mendiang presiden ketiga Filipina, Ramon Magsaysay, figur pemimpin yang dianggap rendah hati dan sederhana.
"Tentu saja, saya sempat tidak percaya," kata Ruwi, saat saya hubungi melalui telepon, sehari setelah dia menerima telepon tersebut.
Dia kemudian menerima pemberitahuan resmi melalui email.
Situs resmi Ramon Magsaysay juga menyebutkan, Ambrosius dan rekan-rekannya di LSM Telapak dianggap mampu bersikap berani dalam melakukan advokasi dalam sejumlah kasus penghentian penebangan liar di Indonesia.
Konsistensinya dalam mendampingi masyarakat untuk terus mencoba "menciptakan sistem dan praktek pengelolaan alam yang lestari" merupakan alasan lain dia layak menerima penghargaan prestisius itu.
Dalam wawancara pada Juli lalu, Ruwi berujar, "Apakah saya pantas (menerima penghargaan Magsaysay)... Saya dan teman-teman hanya berupaya sebaik-baiknya, begitu banyak yang belum (kita) capai dan kembangkan."
Dalam situs resmi ramon Magsaysay disebutkan, Ruwi merupakan orang Indonesia ke-22 yang menerima penghargaan ini.
Beberapa nama yang pernah meraih Magsayay Award antara lain Abdurrahman Wahid alias Gusdur, novelis Pramoedya Ananta Toer, wartawan senior Mochtar Lubis, serta mantan pemimpin Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif.

Bekal dukungan

Ketika langit kota Bogor beranjak gelap, sementara gerimis yang tersisa tak juga redah, saya membuka lagi pertanyaan tentang penghargaan tersebut.
Apa makna penghargaan Ramon Magsaysay bagi Anda? Tanya saya.
"Sebagai tambahan dukungan untuk meneruskan dan mengefektifkan upaya-upaya bekerja bersama masyarakat adat, petani, dan nelayan Indonesia, untuk kerakyatan dan kelestarian," katanya dengan nada tegas.
Ruwi tengah mendampingi masyarakat dalam membangun sistem tandingan pengelolaan sumber daya alam.
Hal ini dia tekankan berulang-ulang, "karena justru saat ini, saya pribadi saya berada di titik kritis, kalut, karena kami menjadi korban kejahatan lingkungan".
Dia lantas bercerita ada anggota LSM Telapak di Kampung Muara Tae di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, yang tengah memperjuangkan hutannya.
"Mereka sudah 20 tahun berjuang mempertahankan hutannya dan mempertahankan jati dirinya sebagai orang dayak Benoak dari serbuan perusahan tambang, serbuan HPH, HTI dan perkebunan sawit," ungkapnya.
"Sampai hari ini hutan mereka dibuldoser secara paksa," tambahnya seraya menyebut sejumlah nama perusahaan.
"Jadi karena mereka angogta Telapak, maka mereka saudara saya. Kalau mereka sakit, kami semua sakit... Kami harus bertahan mempertahankan hutan kami," tegasnya, dengan nada agak tinggi.
Menurutnya, 20 tahun lalu silam, hutan adat Muara Tae masih seluas 11 ribu hektar. Namun, "Hari ini yang masih berhutan tinggal sekitar 800 hektar. Sebagian besar sudah jadi tambang dan perkebunan sawit".
"Kehilangan hutan ini, bagi orang dayak Benoak, bukan hanya kehilangan sumber pangan, sumber air, sumber obat, dan sumber papan, tapi juga kehilangan jati diri," kata alumni Fakultas Kelautan, IPB, Bogor, dengan nada getir.
Karena, "hutan tak terpisahkan dari budaya dan identitas diri orang dayak Benoak".
"Jadi, saat ini, kami sedang jadi korban, kami berada di titik yang rendah. Oleh karena itu, ketika mendapat Magsaysay Award, saya pikir ini adalah dukungan agar kami bertahan".
Dengan diberitakan secara luas, Ruwi mengharapkan masyarakat dan pemerintah mengetahui apa yang dialami orang Dayak Benoak.
"Kami ingin publik tahu bahwa kita sama-sama harus bekerjasama, harus membangun solidaritas untuk lingkungan hidup kita, untuk hutan kita, karena di sanalah keselamatan kita," papar Ruwi.

Otokritik

Walaupun demikian, pria kelahiran 14 November 1971 ini mengaku program kerjasama Telapak dengan masyarakat itu harus lebih banyak diperbaiki.
"Saya sering merasa hal-hal (kegiatan Telapak) yang diliput media, itu hal-hal prestasi yang harus kami isi," katanya, agak diplomatis.
Dia kemudian menjelaskan: "Kami khawatir prestasi ini fotonya lebih bagus dari aslinya".
Karena itulah, pria yang pernah terpilih sebagai Social Enterpreuner of the Year versi Ernts and Young/Schwab Foundation pada 2008 lalu ini mengharap "betul-betul bisa bekerja bisa dengan masyarakat" sehingga "(aktivitas) aslinya lebih indah dari fotonya".
Dari pengalaman selama ini, menurutnya, ide-ide dan eksperimen di balik aktivitas Telapak masuk kategori "bagus".
"Tapi," katanya cepat-cepat," terlalu kecil..."
"Kami harus membuatnya menjadi sesuatu yang mainstream, arus utama," tandasnya, berterus-terang.
Apabila langkah itu belum menjadi arus utama, lanjutnya, "berarti saya kira pekerjaan masih panjang".
Dia menginginkan agar hasil kerjasama dengan masyarakat Yogyakarta, Sulawesi Tenggara atau Lampung, dapat dikakukan di tempat lain.
"Seharusnya ada seribu, bukan hanya tiga atau sepuluh, karena begitu luasnya hutan dan masyarakat adat Indonesia," katanya dengan nada tegas.

Segelintir orang

Tetapi apa manfaat jika sistem dan praktek seperti itu digelar secara massal? Tanya saya.
"Saya yakin, konflik lahan terkait hutan akan sangat meredah, karena dasarnya ada di sana," kata Ruwi.
Ruwi yakin konflik lahan hutan akan meredah, kalau sistemnya dikelola kelompok masyarakat dan bukan korporasi.
Manfaat lainnya? "Kalau hutan dikelola koperasi atau kelompok masyarakat, maka puluhan juta orang akan meningkat kesejahteraannya".
Yang terjadi sekarang, kata Ruwi, pengelolaan hutan hanya menyejahteraan sekelompok kecil orang, investor serta pemilik korporasi.
"Jadi manfaat ekonomi hutan saat ini terpusat pada beberapa korporasi, atau segelintior orang," tandasnya.
Sebaliknya, kata Ruwi, "Dengan koperasi-koperasi, kelompok masyarakat yang mengelola hutan, maka manfaat ekonomi pengelolaan hutan akan terdistribusi, merata, lebih meluas".
Sambil menarik nafas dalam-dalam, alumni Fakultas Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini kemudian berkata: "Kami lebih percaya bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat, akan lebih lestari".
Dia kemudian mencontohkan pengalaman ratusan tahun hutan dikelola oleh masyaralaty adat yang membuat hutan terbukti lestari.
"Nah, sekarang, dalam 40-50 tahun terakhir, saat pengelolaan hutan Indonesia berada di tangan HPH, HTI, kemudian perkebunan sawit, dengan segala macam korporasinya, terbukti dalam 40 tahun hancur hutan kita," Ruwi mengutarakan ini dengan serius.

Sosok berpengaruh

Dalam wawancara yang diselingi hujan deras, Ruwi sempat terdiam beberapa detik, ketika saya tanyakan sosok siapa paling berpengaruh terhadap perjalanan hidupnya.
Matanya terlihat menerawang jauh, sebelum akhirnya dia berujar lirih: "Saya kira, bapak saya..."
Sambil mendekap anaknya yang berusia 5 tahun, Ruwi kemudian melanjutkan kalimatnya: "Karena.. saya belajar tentang kesederhanaan atau (saya) berusaha belajar, karena saya nggak berhasil menyamainya."
Ruwi yang terlihat menerima penghargaan Ramon Magsaysay mengaku sosok ayahnya mewarnai karakternya.
Mendiang ayah Ruwi adalah seorang guru. Pada masanya, sang ayah pernah pula menjadi penilik pendidikan luar sekolah, yang menurut Ruwi, acap melakukan perjalanan ke desa-desa.
"Jadi, (ayah saya) banyak berkunjung ke desa-desa untuk program pengajaran non formal, kejar paket A, kejar paket B..."
Rupanya, aktivitas sang ayah itu begitu melekat pada ingatannya -- sampai sekarang.
"Mungkin saya ketularan senang berkunjung ke desa-desa, berkumpul dengan masyarakat atau orang-orang," ungkapnya, kali ini dengan tersenyum.
Seperti diketahui, sebagai pegiat LSM di bidang lingkungan, Ruwi harus bertemu dan berdiskusi dengan banyak orang di pelosok daerah, di pinggir hutan atau pantai.
Di saat melakukan itu semua, Ruwi kembali teringat percakapannya dengan masyarakat desa yang dulu pernah didatangi almarhum ayahnya.
"Setelah beliau meninggal, saya banyak mendengar cerita di pelosok desa, dari ujung sana-ujung sini, yang tak disangka semuanya kenal (ayah saya), karena semuanya pernah dikunjungi dan berinteraksi dengan bapak saya," terangnya, masih dengan mata menerawang.
Pihak lain yang disebutnya mempengaruhi perjalanan hidupnya adalah kawan-kawannya di komunitas pencinta alam di kampusnya Institut Pertanian Bogor (IPB), Lawalata.
"Teman-teman saya di Lawata IPB, menjadi teman yang asyik... saya menemukan kebahagiaan kegiatan di alam," jelasnya.
Secara khusus Ruwi kemudian menyebut salah-satu nama seniornya di Lawalata, yang menurutnya berperan besar. "Dia menjadi mentor saya untuk pembentukan diri secara organisasi".
Lainnya, siapa lagi yang ikut membentuk karakter Anda? "Tentu saja teman-teman di Telapak".
Wawancara akhirnya berakhir, dan Ruwi terlihat meninggalkan lokasi diskusi seraya menggendong putrinya yang berumur lima tahun.
Saya pun meninggalkan kota Bogor, walaupun gerimis tak juga redah.

Tuesday, February 5, 2013

Dr. Yetti Rusli : Menebang Boleh, Merusak Hutan Jangan

Dr. Yetti Rusli, M.Sc
Sindonews.com - Staff Ahli Lingkungan dan Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Yeti Rusli menolak jika Indonesia disebut sebagai negara terbesar nomor tiga dalam melakukan penebangan hutan.

Menurut dia, seseorang yang akan mengungkapkan mengenai kerusakan hutan di Indonesia harus bisa memahami karakter dan kondisi hutan di tanah air secara benar.

"Ada yang menyebut kita ini negara nomor tiga dalam penebangan hutan, dan Indonesia apa itu benar, apa dia paham hutan dan Indonesia. Sekarang ada yang bilang Indonesia jangan tebang pohon, tentunya tidak demikian," jelas Yeti dalam Seminar Nasional bertema Merajut Peradaban Melayu Masa Depan dan Perspektif Baru, di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (26/12/2012).

Dia menjelaskan,sepatutnya seseorang yang akan mengomentari hutan di Indonesia untuk bisa mempelajari karakteristik kehidupan masyarakat di tanah air yang memang dalam kehidupannya masih mengandalkan pohon dan sumber daya yang ada di hutan.

"Masyarakat kita ini masih banyak yang tinggal di hutan, dan tidak bisa mereka tidak menebang hutan. Yang terpenting itu kita menebang bukan merusak hutan, tidak mungkin kita tidak menebang," tukasnya.

Lebih lanjut dia menegaskan, selama ini Kemenhut juga selalu menjalankan program pengembalian fungsi hutan, salah satunya dengan melakukan penanaman pohon yang dilakukan dalam berbagai program.

"Padahal selama ini kita menanam dengan cepat mengembalikan hutan yang ada. Jadi tidak bisa tidak menebang yang tidak boleh adalah merusak," katanya lagi.

Oleh karenanya, dia menyayangkan jika ada yang mengatakan selama ini Indonesia terus melakukan penebangan hutan yang berimbas pada kerusakan lingkungan.

"Tidak begitu, kita selalu mengembalikan fungsi. Di dalam hutan ada saudara kita yang memang hidupnya menggunakan apa yang ada di sana, tidak bisa kita larang. Karena hutan obat bukan hanya untuk kita, tapi untuk mereka semua," pungkasnya.
(rsa)

Sumber :
http://m.sindonews.com/read/2012/12/26/15/700828/kemenhut-indonesia-bukan-negara-perusak-hutan

Sunday, February 3, 2013

Dr. Yetti Rusli : Drastis! Indonesia tekan laju deforestasi


Metrotvnes.com, Pekanbaru: Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengklaim telah berhasil menahan laju deforestasi hutan selama 10 tahun terakhir.

Namun klaim tersebut sering tidak dianggap dunia internasional yang selalu mengakses data keliru tentang kerusakan hutan Indonesia.

Staf Ahli Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim Menteri Kehutanan, DR Yetti Rusli, Minggu, (3/2), mengatakan data pihak asing yang banyak kekeliruan menyudutkan pemerintah Indonesia di dunia internasional.

"Data deforestasi yang dikeluarkan pihak asing banyak ngawur. Saya mempertaruhkan jabatan saya, bahwa semua itu keliru," Yetti.

Sejumlah organisasi pemerhati lingkungan dinilainya kerap membuat data laju deforestasi yang tidak sesuai dengan kenyataan dan pemetaan pemerintah Indonesia.

Salah satunya dengan memasukan data pembukaan lahan pada hutan produksi untuk hutan tanaman industri (HTI) dan kelapa sawit.

"Padahal, kenyataannya lahan itu ditanami kembali namun oleh mereka tidak diperhitungkan. Dengan data semacam itu, bagaimana bisa dipercaya," ungkapnya.

Menurutnya pemerintah melalui sejumlah kebijakan telah menekan laju deforestasi. Menggunakan data citra satelit Landsat, bisa dilihat bahwa laju deforestasi Indonesia terus menunjukan tren penurunan dari periode 2000 hingga 2011.

Harus diakui, lanjutnya, periode 2000-2003, merupakan puncak dari deforestasi di Indonesia, karena laju kerusakan mencapai 3,51 juta hektare (ha) per tahun. Rinciannya yakni kerusakan di kawasan hutan 2,83 juta ha per tahun, dan kerusakan di kawasan nonkehutanan 0,68 ha.

Namun, ia mengatakan laju deforestasi sudah menurun drastis pada 2011 yakni tinggal 0,45 juta ha per tahun. Bahkan, pemerintah Indonesia berharap bisa terus menekan deforestasi.

Data ini, lanjutnya sudah pernah disampaikannya pada sidang United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCC) di Doha. "Data ini mengagetkan banyak orang, banyak yang tidak percaya. Saya katakan, negara mana yang bisa menekan laju deforestasi sedrastis Indonesia," ujarnya.

Ia menilai kebijakan-kebijakan untuk menekan laju deforestasi pemerintah Indonesia sudah terbukti. Salah satunya dengan memerangi pembalakan liar dan perdagangan kayu log (gelondongan) dengan melibatkan berbagai instansi pemerintah serta aparat keamanan. Termasuk moratorium kehutanan.

Namun, ia menyayangkan banyak pihak dari luar negeri yang meragukan data laju deforestasi yang dirilis pemerintah.

Menurutnya, hal ini terjadi karena sarat dengan motif bisnis untuk menjegal kebangkitan ekonomi nasional dari sektor industri kehutanan dan kelapa sawit.

"Bagi pihak yang meragukan turunnya laju deforestasi Indonesia, silakan mengukurnya sendiri tentunya dengan cara yang sesuai dan benar," ungkapnya.

Hal senada juga diutarakan oleh Ketua Tim MRV (measurement, reporting dan verification) Kemenhut Prof Budi Indra Setiawan.

Menurutnya banyak Non Government Organization (NGO) baik lokal maupun asing yang sering salah merilis data estimasi pelepasan karbon. Hal tersebut dinilainya hanya menimbulkan kerugian bagi pemerintah dan penyesatan informasi bagi publik.

"Kekeliruan estimasi pelepasan karbon yang kerap terjadi adalah dengan mengambil sampel di sejumlah titik. Kemudian mengkonversinya menjadi perhitungan untuk satu tahun. Padahal, penghitungan semacam itu keliru karena pelepasan karbon nilainya akan sangat fluktuatif, tidak bisa dirata-ratakan," ujarnya.

Ia mengatakan pemerintah membentuk Tim MRV guna mengkaji salah satunya mengenai pelepasan emisi di lahan gambut yang dikelola untuk HTI di Semenanjung Kampar, Riau. Dalam hal ini, lanjutnya penghitungan dilakukan di konsesi PT RAPP yang selama ini menggunakan manajemen tata kelola ketinggian air pada lahan gambut. (Bagus Himawan/Win)

Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Kusnan Rahmin (kiri) dan Staf Ahli Menteri Kehutanan Yetti Rusli (tengah) mendengarkan penjelasan Ketua Tim MRV Kemenhut Prof. Budi Setiawan (kanan) tentang alat pengukur emisi karbon di lahan gambut konsesi hutan tanaman industri RAPP di Teluk Meranti Kabupaten Pelalawan, Riau, Selasa lalu (29/1). Ilmuwan Jepang dari Universitas Utsonomiya menginvestasikan alat senilai Rp. 1 miliar itu ntuk mengukur emisi karbon di lahan gambut hutan tanaman industri yang dikelola RAPP dengan manajemen ketinggian air sebagai bentuk mitigasi pemanasan global.

Sumber :