Dr. Yetti Rusli Staff Ahli Menteri Kehutanan Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim, Ketua Pokja Perubahan Iklim Kementrian Kehutanan |
Dr. Yetti Rusli
Staff Ahli Menteri Kehutanan Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim, Ketua Pokja Perubahan Iklim Kementrian Kehutanan
Selama dua hari di bulan April 2011 di Bogor, Indonesia, peserta jurnalis berdiskusi dengan masukan narasumber dari CIFOR, TNC Indonesia, UN-REDD Indonesia Programme, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), dan Riak Bumi sebagai mitra dari Non-Timber Forest Products Exchange Programme (NTFP-EP), mengenai Perhutanan Sosial dan REDD+, serta peran jurnalisme lingkungan dan rekomendasi langkah ke depan untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi dalam meningkatkan peran media untuk Perhutanan Sosial dan REDD+.
Peran Media
Perhutanan Sosial dan REDD+ meliputi pelbagai isu-isu teknis yang tidak mudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat. Kadangkala informasi terkini bukan hanya susah diperoleh, tetapi juga susah diterjemahkan menjadi berita yang bermakna bagi para pembaca. Dalam kaitan ini, peran media menjadi amat penting. Para jurnalis merupakan salah satu mata rantai yang penting dalam mewujudkan landasan diskusi antara pemerintah dan masyarakat. Tidak hanya sekedar memaparkan fakta-fakta, peran media yang lebih penting adalah memperdebatkan fakta-fakta tersebut secara kritis. Dengan mengkritisi isu ini dari sudut pandang masyarakat umum dan menjadikannya lebih terjangkau, para pembaca dapat meneliti and membuat keputusan sendiri berdasarkan informasi yang tepat. Dengan demikian, masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan memperoleh kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
Isu-isu Penting dari Paparan Para Narasumber
Hadir sebagai Pembicara Utama dalam Media Workshop tersebut adalah Dr. Yetti Rusli, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim, sekaligus Ketua Pokja Perubahan Iklim Kementrian Kehutanan, yang memaparkan berbagai aspek yang perlu dicermati, mengenai Masyarakat, Hutan, dan Perubahan Iklim.
Dr. Herry Purnomo, Peneliti CIFOR, dalam paparannya berjudul “Forestry Research and REDD+”, antara lain menjelaskan persyaratan utama REDD+ yang telah ditemukan dari hasil riset CIFOR adalah: (i) Property Rights/Hak Milik untuk masyarakat lokal, (ii) Penghargaan dan Insentif untuk masyarakat lokal, (iii) Organisasi sosial untuk penguatan posisi masyarakat lokal, dan (iv) Fasilitasi Negara untuk memperkuat REDD di tingkat lansekap. Sementara sebagaimana dipaparkan dalam presentasi oleh Wardell pada tahun 2011, hubungan antara Hak-Hak Masyarakat dengan REDD+ antara lain adalah: (i) Kepemilikan oleh Negara terus mendominasi, (ii) Hak-hak tenurial yang semakin jelas tidak serta merta berarti bahwa masyarakat dapat meningkatkan keuntungan mereka; (iii) Masyarakat menghadapi hambatan di dalam menyadari keuntungan dari hak-hak yang mulai diakui; (iv) Kurangnya tenurial yang jelas akan menjadi hambatan yang signifikan pada REDD+; (v) Hak-hak karbon belum jelas; dan (vi) Hubungan yang kompleks antara keadaan pemerintahan, penghidupan, dan hasil-hasil kehutanan.
Dr. Dicky Simorangkir, The Nature Conservancy Indonesia menjelaskan dalam presentasinya berjudul “REDD Implementation in Berau, Indonesia: Berau Forest Carbon Program/BFCP, Lessons Learned from the Field”, bahwa status saat ini di lokasi kegiatan REDD di Berau adalah: (i) kapasitas masyarakat rendah dan kelembagaan di tingkat desa lemah, (ii) kurangnya pengakuan hak membatasi akses terhadap sumberdaya dan membuat hubungan dengan pemangku kepentingan lain menjadi rawan konflik, (iii) masyarakat lokal seringkali kalah dalam kompetisi dengan para pendatang. Oleh karena itu, strategi yang diterapkan untuk masyarakat adalah: (i) Kelembagaan desa, proses pembuatan keputusan dan perencanaan yang kuat, (ii) Meningkatnya aliran dana ke desa-desa dari banyak sumber, (iii)
Dana digunakan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang memiliki nilai tinggi untuk peningkatan dukungan dari sumber lain, dan (iv) Transparansi dan monitoring oleh masyarakat terhadap manajemen keuangan.
Dr. Machfudh, Chief Technical Advisor UN-REDD Indonesia Programme menyebutkan dalam paparannya berjudul “PADIATAPA: Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan” bahwa banyak kegiatan REDD+ tidak menghiraukan prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC atau PADIATAPA), atau melakukannya secara tidak menyeluruh, dan banyak yang menganggap pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) sudah cukup mewakili masyarakat lokal. Oleh karena itu, UN-REDD mengambil inisiatif untuk mewujudkan proses FPIC ini, dan setelah upaya keras UNREDD hasil UNFCCC COP-16 telah meminta semua Negara untuk menerapkan FPIC. Lebih lanjut dijelaskan bahwa prasyarat untuk menerapkan FPIC dengan benar adalah: (i) Masyarakat harus terorganisir dengan baik, (ii) Dapat mencapai kesepakatan antar mereka sendiri, (iii) Dapat memahami dengan baik usulan-usulan dari luar, dan (iv) Dapat menegaskan pendapat mereka dalam berbagai perundingan.
Christine Wulandari, mewakili FKKM dan Universitas Lampung, dalam paparannya berjudul “REDD, Masyarakat dan Kehutanan Sosial” menjelaskan Peluang yang ada bahwa: (i) Melalui skema REDD, masyarakat lokal akan mendapatkan kesempatan pengakuan atas hak mereka secara formal oleh pemerintah. Sebagaimana dijelaskan dalam Permenhut No. 30/Menhut-II/2009, Pasal 9, ayat 1, Persyaratan REDD untuk hutan hak adalah: Memiliki sertifikat hak milik atas tanah atau keterangan kepemilikan tanah dari Pemda; (ii) Melalui skema REDD, wilayah hutan (adat) berpeluang dimasukkan
dalam rencana tata ruang wilayah; dan (iii) Dengan asumsi bahwa skema REDD dalam skala global, nasional dan daerah akan berjalan sesuai dengan baik maka masyarakat berpeluang meningkatkan taraf hidup mereka dari sisi finansial.
Dijelaskan pula Ancaman yang ada sebagai berikut: (i) Skema REDD berpotensi merusak tatanan sosial dan budaya yang telah terbangun; (ii) Skema REDD berpotensi melahirkan gesekan horizontal di level masyarakat lokal; dan (iii) Skema REDD berpotensi mengancam status tenurial masyarakat atas kepemilikan hutan (adat) mereka.
Valentinus Heri, Direktur Riak Bumi, salah satu mitra kerja Non-Timber Forest Products Exchange Programme South and Southeast Asia (NTFP-EP), dalam paparannya berjudul “Ensuring Livelihoods through Climate Change Mitigation and Adaptation (Learning from Danau Sentarum)”, menjelaskan bahwa Pembelajaran Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim antara lain adalah: (i) Danau Sentarum menyediakan semua kebutuhan untuk masyarakat sepanjang musim; (ii) Upayakan berbagai potensi sebagai alternatif pendapatan masyarakat; (iii) Harus ada upaya untuk meningkatkan nilai sumber daya alam yang ada; (iv) Penting untuk mendorong masyarakat membangun usaha dengan tetap mempertimbangkan lingkungan; (v) Jika masyarakat merasakan manfaat dari sumber daya alam yang ada, akan memotivasi mereka menjaganya; dan (vi) Membangun jaringan kemitraan dan dukungan dengan pihak lain.
Download selengkapnya disini.
0 comments:
Post a Comment
Silakan memberikan komentar :) terimakasih sudah berkunjung ke forestforlife.web.id