Pages

Hutan Kunci Bagi Sasaran Pembangunan

Hutan dunia memainkan perang penting dalam peralihan ke ekonomi hijau, tapi pemerintah perlu berbuat lebih banyak guna menjamin hutan tersebut dikelola secara berkelanjutan

Pelet Kayu, Bahan Bakar Alternatif Rendah Emisi

Penggunaan wood pellet (pelet kayu) sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil untuk industri besar, kecil, dan rumah tangga menghasilkan emisi lebih rendah dibandingkan dengan minyak tanah dan gas.

COP19 Warsawa : Indonesia Paparkan Inisiatif Hijau Dalam Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung

"Green Initiatives on Protected Forest, Production Forest and National Parks" COP-19/CMP-9 UNFCCC, Warsawa, Polandia (15/11/2013).

Forest Landscape Restoration: Enhancing more than carbon stocks

ITTO co-hosted a discussion forum on “Forest Landscape Restoration: Enhancing more than carbon stocks” at Forest Day 6, convened during UNFCCC COP18 in Doha, Qatar.

Tuesday, January 29, 2013

Menhut Tanam Sejuta Pohon di Sinka Island Park


KBRN, Jakarta : Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Selasa (29/1/2013), secara simbolis menanam sejuta pohon di obyek wisata Sinka Island Park, Singkawang, Kalimantan Barat.

Penanaman diantaranya diikuti ratusan perwakilan pelajar dan mahasiswa se kota Singkawang, unsur pemerintahan daerah setempat dan warga masyarakat sekitar taman rekresi.

"Terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada pimpinan Taman Rekreasi Sinka Island Singkawang yang menyelenggarakan kegiatan penanaman sejuta pohon," ucap Menhut diawal pengarahannya dihadapan pasa peserta penanaman.

Menhut senang karena program pemerintah "Gerakan Penanaman 1 Milyar Pohon" mendapat dukungan luas seluruh masyarakat Indonesia, termasuk di Singkawang ini.

Dalam waktu tiga tahun terakhir, secara nasional realisasi penanaman pohon telah melebihi target 1 milyar.

"Pada tahun 2010 Pemerintah telah melakukan penanaman sebanyak 1,3 milyar batang pohon. Tahun 2011 sebanyak 1,5 milyar batang pohon dan pada tahun 2012 kemarin, ditanam sebanyak 1,1 milyar batang pohon," ungkap Menhut.

Dikatakannya, Gerakan Penanaman 1 Milyar Pohon ini akan memberikan hasil nyata bagi kehidupan, seperti berkurangnya banjir dan tanah longsor saat musim penghujan, berkurangnya kekeringan berkepanjangan pada musim kemarau, lingkungan kota yang sehat, sejuk, indah, nyaman dan damai, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Sinka Island Park merupakan objek wisata perpaduan wisata modern dan wisata alam, sekitar tiga jam perjalanan dari Pontianak.

Kawasan Sinka Island Park dibangun dengan menggabungkan konsep wisata pantai dan kebun binatang. Beberapa obyek wisata yang berada di Sinka Island Park, yaitu Sinka Zoo, Rindu Alam, pantai Simping dan pantai Bajau.

Di kawasan wisata ini, pengunjung bisa menikmati keindahan pantai dengan berkeliling mengendarai delman atau kuda yang bisa disewa. Pengunjung juga bisa mencoba permainan air di pantai ini seperti banana boat, jetski, dan sepeda air. (Dedi/LL/BCS)

Sumber :
http://rri.co.id/index.php/berita/41678/Menhut-Tanam-Sejuta-Pohon-di-Sinka-Island-Park#.UQgGiB1fHjI

Saturday, January 26, 2013

Menhut ingatkan pemda soal ruang terbuka hijau



Bandung (ANTARA News) - Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengingatkan pemerintah daerah di Indonesia untuk memperhatikan ruang terbuka hijau dalam pengembangan kawasan kota.

"Pengembangan kota untuk mengimbangi akselerasi pertumbuhan ekonomi dan penduduk adalah penting, namun tidak membuat kota diekpoitasi daya dukungnya yang akan merugikan di masa depan," kata Zulkifli Hasan di kawasan car free day, Jalan Dago Kota Bandung, Minggu.

Ia menjelaskan ruang terbuka hijau dan kawasan hutan kota adalah syarat penting yang harus menjadi perhatian dalam pengembangan kota. Hutan kota akan menjadi paru-paru kota yang bisa mengurangi polusi akibat limbah industri, kendaraan, dan limbah rumah tangga.

"Ekploitasi daya dukung kota akan merugikan sektor pariwisata, membikin turis tidak nyaman, masyarakat tidak nyaman karena kota jadi gersang dan lainnya. Menjaga hutan kota dan berperilaku ramah lingkungan harus menjadi budaya dan gaya hidup," katanya.

Lebih lanjut, Menhut menyebutkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penduduk yang terus bertambah, trasportasi yang kian padat, serta limbah rumah tangga, mengharuskan pemerintah daerah untuk mengelola dan memberlakukan manajemen perkotaan yang lebih intensif.

Berdasarkan Undang Undang, ujarnya, ruang terbuka hijau di kota dan kabupaten minimal harus mencapai 30 persen dari ruang daratan di daerah itu. 

"Hutan kota sangat penting, dan saya terus melakukan sosialisasi dan road show ke kabupaten/kota agar pimpinan daerah memperhatikan keseimbangan vegetasi kotanya," katanya.

Pada kesempatan itu, Menhut meminta agar Kota Bandung tetap menjaga vegetasi dan ruang terbuka hijaunya. Dengan demikian, Bandung tetap menjadi Kota Kembang yang menjadi tujuan wisatawan.

"Kota Bandung berkembang pesat, industri kreatif besar, orang Jakarta kemari, warga luar negeri juga kesini, pergerakan orang otomatis meningkat pesat itu peluang sekaligus tantangan dalam pengembangan kawasan," ujarnya.

Sumber :
http://www.antaranews.com/berita/355199/menhut-ingatkan-pemda-soal-ruang-terbuka-hijau

Sunday, January 20, 2013

Bank Dunia umumkan pendanaan iklim baru

Pemerintah menargetkan pengurangan emisi karbon
hingga 26 persen pada 2020 dengan perincian 6 persen
dari energi, 6 persen dari pengelolaan limbah,
dan 14 persen dari pelestarian hutan.

Jakarta (ANTARA News) - Bank Dunia mengumumkan pendanaan iklim baru sebesar 180 juta dolar AS untuk Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility/FCPF) sumbangan dari Finlandia, Jerman dan Norwegia.

Wakil Presiden Bank Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan, Rachel Kyte, mendukung komitmen berkelanjutan komunitas negara donor untuk mendukung FCPF.

"Upaya dunia untuk menempuh jalan pertumbuhan hijau dan rendah karbon terus meningkat guna menghadapi tantangan perubahan iklim," katanya dalam siaran pers Bank Dunia, Senin.

Bank Dunia membentuk FCPF untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara berkembang yang melakukan pengurangan emisi karbon dioksida dengan menjaga kelestarian hutan.

FCPF antara lain menyediakan Dana Kesiapan sekitar 260 juta dolar AS untuk mendukung perencanaan strategi nasional pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan.

Selain itu ada Dana Karbon sekitar 390 juta dolar AS untuk kompensasi pengurangan emisi karbon berdasarkan program REDD+.

Sumber :
http://www.antaranews.com/berita/352980/bank-dunia-umumkan-pendanaan-iklim-baru

Saturday, January 12, 2013

UI peringkat 25 kampus terhijau di dunia


Depok, Jawa Barat (ANTARA News) - Universitas Indonesia berhasil menduduki peringkat 25 kampus terhijau di dunia. "Penilaian ini berdasarkan UI GreenMetric Ranking of World Universities," kata Wakil Rektor UI bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Muhammad Anis, di Gedung Balairung Depok, Selasa.

Menurut dia, untuk peringkat pertama sebagai kampus terhijau yaitu University of Connecticut, Amerika Serikat.
Selanjutnya University of Nottingham, Inggris, dan posisi ketiga University College Cork National University of Ireland, Irlandia.

Perguruan tinggi nasional yang berada di 30 besar, yaitu Institut Pertanian Bogor, yang berada di peringkat 27.

Ia mengatakan UI GreenMetric Ranking of World Universities 2012, diikuti 215 perguruan tinggi dari 49 negara atau mengalami peningkatan dari 2011, yang cuma 178 perguruan tinggi.

Beberapa negara yang ikut serta adalah China, Fiji, Finlandia, Yunani, Hong Kong, Meksiko, Chile, Afrika Selatan, Palestina, Vietnam, Inggris, Amerika Serikat, dan lainnya.

UI GreenMetric World University Ranking merupakan lembaga pemeringkatan perguruan tinggi terbaik di dunia yang memiliki komitmen tinggi dalam pengelolaan lingkungan hidup kampus. UI GreenMetric telah diterima sebagai anggota IREG Observatory (International Ranking Expert Group) secara resmi pada Konferensi IREG-6 bulan April 2012 di Taipei.

IREG merupakan lembaga internasional yang berperan sebagai penjamin mutu lembaga pemeringkatan yang ada di dunia.

Pemeringakatan UI GreenMetric World University 2012 dilandasi tiga filosofi dasar, yaitu lingkungan hidup, ekonomi, dan keseimbangan. Metodologi dan survei dilakukan tim UI GreenMetric salah satunya dengan mengembangkan bobot indikator penilaian yang terdiri dari statistis kehijauan kampus (15 persen).

Selanjutnya pengelolaan sampah (18 persen), energi dan perubahan iklim (21 persen), penggunaan air (10 persen), tranportasi (18 persen), dan pendidikan (18 persen).

Sumber :
http://www.antaranews.com/berita/352033/ui-peringkat-25-kampus-terhijau-di-dunia

Friday, January 11, 2013

Dr. Yetti Rusli : Peran Media dalam Perhutanan Sosial dan REDD+


Dr. Yetti Rusli Staff Ahli Menteri Kehutanan 
Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim, 
Ketua Pokja Perubahan Iklim Kementrian Kehutanan
“Media perlu mencermati berbagai data yang ada di dalam menyusun pemberitaan untuk dapat menampilkan informasi akurat dalam mengembalikan makna pohon dan hutan yang dapat menyerap emisi karbon dan memperbaiki lahan yang rusak, serta peran masyarakat yang besar di dalam pengelolaan hutan yang lestari.”

Dr. Yetti Rusli
Staff Ahli Menteri Kehutanan Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim, Ketua Pokja Perubahan Iklim Kementrian Kehutanan


Selama dua hari di bulan April 2011 di Bogor, Indonesia, peserta jurnalis berdiskusi dengan masukan narasumber dari CIFOR, TNC Indonesia, UN-REDD Indonesia Programme, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), dan Riak Bumi sebagai mitra dari Non-Timber Forest Products Exchange Programme (NTFP-EP), mengenai Perhutanan Sosial dan REDD+, serta peran jurnalisme lingkungan dan rekomendasi langkah ke depan untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi dalam meningkatkan peran media untuk Perhutanan Sosial dan REDD+.

Peran Media

Perhutanan Sosial dan REDD+ meliputi pelbagai isu-isu teknis yang tidak mudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat. Kadangkala informasi terkini bukan hanya susah diperoleh, tetapi juga susah diterjemahkan menjadi berita yang bermakna bagi para pembaca. Dalam kaitan ini, peran media menjadi amat penting. Para jurnalis merupakan salah satu mata rantai yang penting dalam mewujudkan landasan diskusi antara pemerintah dan masyarakat. Tidak hanya sekedar memaparkan fakta-fakta, peran media yang lebih penting adalah memperdebatkan fakta-fakta tersebut secara kritis. Dengan mengkritisi isu ini dari sudut pandang masyarakat umum dan menjadikannya lebih terjangkau, para pembaca dapat meneliti and membuat keputusan sendiri berdasarkan informasi yang tepat. Dengan demikian, masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan memperoleh kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.


Isu-isu Penting dari Paparan Para Narasumber

Hadir sebagai Pembicara Utama dalam Media Workshop tersebut adalah Dr. Yetti Rusli, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim, sekaligus Ketua Pokja Perubahan Iklim Kementrian Kehutanan, yang memaparkan berbagai aspek yang perlu dicermati, mengenai Masyarakat, Hutan, dan Perubahan Iklim.

Dr. Herry Purnomo, Peneliti CIFOR, dalam paparannya berjudul “Forestry Research and REDD+”, antara lain menjelaskan persyaratan utama REDD+ yang telah ditemukan dari hasil riset CIFOR adalah: (i) Property Rights/Hak Milik untuk masyarakat lokal, (ii) Penghargaan dan Insentif untuk masyarakat lokal, (iii) Organisasi sosial untuk penguatan posisi masyarakat lokal, dan (iv) Fasilitasi Negara untuk memperkuat REDD di tingkat lansekap. Sementara sebagaimana dipaparkan dalam presentasi oleh Wardell pada tahun 2011, hubungan antara Hak-Hak Masyarakat dengan REDD+ antara lain adalah: (i) Kepemilikan oleh Negara terus mendominasi, (ii) Hak-hak tenurial yang semakin jelas tidak serta merta berarti bahwa masyarakat dapat meningkatkan keuntungan mereka; (iii) Masyarakat menghadapi hambatan di dalam menyadari keuntungan dari hak-hak yang mulai diakui; (iv) Kurangnya tenurial yang jelas akan menjadi hambatan yang signifikan pada REDD+; (v) Hak-hak karbon belum jelas; dan (vi) Hubungan yang kompleks antara keadaan pemerintahan, penghidupan, dan hasil-hasil kehutanan.

Dr. Dicky Simorangkir, The Nature Conservancy Indonesia menjelaskan dalam presentasinya berjudul “REDD Implementation in Berau, Indonesia: Berau Forest Carbon Program/BFCP, Lessons Learned from the Field”, bahwa status saat ini di lokasi kegiatan REDD di Berau adalah: (i) kapasitas masyarakat rendah dan kelembagaan di tingkat desa lemah, (ii) kurangnya pengakuan hak membatasi akses terhadap sumberdaya dan membuat hubungan dengan pemangku kepentingan lain menjadi rawan konflik, (iii) masyarakat lokal seringkali kalah dalam kompetisi dengan para pendatang. Oleh karena itu, strategi yang diterapkan untuk masyarakat adalah: (i) Kelembagaan desa, proses pembuatan keputusan dan perencanaan yang kuat, (ii) Meningkatnya aliran dana ke desa-desa dari banyak sumber, (iii)
Dana digunakan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang memiliki nilai tinggi untuk peningkatan dukungan dari sumber lain, dan (iv) Transparansi dan monitoring oleh masyarakat terhadap manajemen keuangan.

Dr. Machfudh, Chief Technical Advisor UN-REDD Indonesia Programme menyebutkan dalam paparannya berjudul “PADIATAPA: Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan” bahwa banyak kegiatan REDD+ tidak menghiraukan prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC atau PADIATAPA), atau melakukannya secara tidak menyeluruh, dan banyak yang menganggap pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) sudah cukup mewakili masyarakat lokal. Oleh karena itu, UN-REDD mengambil inisiatif untuk mewujudkan proses FPIC ini, dan setelah upaya keras UNREDD hasil UNFCCC COP-16 telah meminta semua Negara untuk menerapkan FPIC. Lebih lanjut dijelaskan bahwa prasyarat untuk menerapkan FPIC dengan benar adalah: (i) Masyarakat harus terorganisir dengan baik, (ii) Dapat mencapai kesepakatan antar mereka sendiri, (iii) Dapat memahami dengan baik usulan-usulan dari luar, dan (iv) Dapat menegaskan pendapat mereka dalam berbagai perundingan.

Christine Wulandari, mewakili FKKM dan Universitas Lampung, dalam paparannya berjudul “REDD, Masyarakat dan Kehutanan Sosial” menjelaskan Peluang yang ada bahwa: (i) Melalui skema REDD, masyarakat lokal akan mendapatkan kesempatan pengakuan atas hak mereka secara formal oleh pemerintah. Sebagaimana dijelaskan dalam Permenhut No. 30/Menhut-II/2009, Pasal 9, ayat 1, Persyaratan REDD untuk hutan hak adalah: Memiliki sertifikat hak milik atas tanah atau keterangan kepemilikan tanah dari Pemda; (ii) Melalui skema REDD, wilayah hutan (adat) berpeluang dimasukkan
dalam rencana tata ruang wilayah; dan (iii) Dengan asumsi bahwa skema REDD dalam skala global, nasional dan daerah akan berjalan sesuai dengan baik maka masyarakat berpeluang meningkatkan taraf hidup mereka dari sisi finansial.

Dijelaskan pula Ancaman yang ada sebagai berikut: (i) Skema REDD berpotensi merusak tatanan sosial dan budaya yang telah terbangun; (ii) Skema REDD berpotensi melahirkan gesekan horizontal di level masyarakat lokal; dan (iii) Skema REDD berpotensi mengancam status tenurial masyarakat atas kepemilikan hutan (adat) mereka.

Valentinus Heri, Direktur Riak Bumi, salah satu mitra kerja Non-Timber Forest Products Exchange Programme South and Southeast Asia (NTFP-EP), dalam paparannya berjudul “Ensuring Livelihoods through Climate Change Mitigation and Adaptation (Learning from Danau Sentarum)”, menjelaskan bahwa Pembelajaran Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim antara lain adalah: (i) Danau Sentarum menyediakan semua kebutuhan untuk masyarakat sepanjang musim; (ii) Upayakan berbagai potensi sebagai alternatif pendapatan masyarakat; (iii) Harus ada upaya untuk meningkatkan nilai sumber daya alam yang ada; (iv) Penting untuk mendorong masyarakat membangun usaha dengan tetap mempertimbangkan lingkungan; (v) Jika masyarakat merasakan manfaat dari sumber daya alam yang ada, akan memotivasi mereka menjaganya; dan (vi) Membangun jaringan kemitraan dan dukungan dengan pihak lain.

Download selengkapnya disini.






Friday, January 4, 2013

Pengelolaan karbon hutan Indonesia miliki payung hukum

Bogor (11 Mei 2012) – Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan payung hukum yang akan menjadi pedoman mekanisme semua kegiatan terkait penurunan emisi karbon hutan yang diharapkan akan mendukung serta mempermudah pelaksanaan proyek-proyek REDD+.

Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) nomor P.20/Menhut-II/2012 ini mengatur mengenai pelaksanaan kegiatan pengelolaan karbon hutan di wilayah hutan produksi, hutan lindung, hutan konservasi dan hutan rakyat.
“Diharapkan, keluarnya peraturan ini dapat menjadi angin segar guna membantu pelaksanaan pilot-pilot project REDD+,“ kata Yetti Rusli, Ketua Kelompok Kerja Perubahan Iklim, Kementerian Kehutanan di Jakarta, baru-baru ini.

REDD+ adalah skema mitigasi perubahan iklim yang memberikan kompensasi bagi negara-negara berkembang untuk mempertahankan keberadaan hutan. Indonesia, yang telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebanyak 26% dari tingkat business-as-usual pada tahun 2020, sedang mengembangkan regulasi untuk pelaksanaan mekanisme ini di tingkat nasional dan lokal sebagai bagian upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.

Dalam Permenhut yang telah diundangkan 26 April lalu, aktivitas yang diatur antara lain peningkatan simpanan karbon (carbon stock), penyerapan karbon (sequestration), dan penjagaan keseimbangan jumlah karbon padat dalam hutan. Dalam bagian pertimbangan, disebutkan, tujuan utama penetapan hukum ini juga agar optimalisasi fungsi hutan lestari dalam upaya mitigasi perubahan iklim global dapat tercapai.

Bagi para pemrakarsa dan mitra pelaksana kegiatan REDD+, terbitnya Permenhut 20 ini memberikan jaminan kepastian hukum. Mereka diberikan ijin untuk melakukan aktivitas penyelenggaraan termasuk hak menjual karbon hutan bersertifikat di wilayah kerjanya masing-masing.

Dalam Permenhut 20, disebutkan bahwa kegiatan karbon hutan dapat berupa penyimpanan dan penyerapan karbon. Kegiatan yang termasuk dalam kategori itu, antara lain pembibitan, penanaman, pemeliharaan hutan dan lahan, serta pemanenan hutan dengan prinsip pengelolaan hutan lestari. Perpanjangan siklus tebangan pada penanaman, pengayaan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, serta perlindungan dan pengamanan pada areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu juga menjadi bagian pelaksanaan kegiatan karbon hutan.

Karbon hutan yang diperdagangkan adalah selisih antara potensi karbon hutan pada tahun tertentu dengan potensi awal karbon hutan (baseline), serta upaya memelihara dan mengamankan stok karbon hutan.  Sementara untuk memenuhi target komitmen penurunan emisi Indonesia, Permenhut 20 mensyaratkan pembeli karbon hutan yang berasal dari negara lain memperoleh nilai penurunan emisi karbon maksimal sebesar 49 %. Tata cara perdagangan akan diatur pada Peraturan Menteri tersendiri.

Sebelum diterbitkan, Permenhut 20 telah melalui proses konsultasi publik sebagai bentuk inisiatif promosi dan sosialisasi Kementerian Kehutanan dengan para pihak terkait. “Rancangan Permenhut sudah kami paparkan terlebih dahulu dengan lembaga donor, mitra kegiatan pilot project, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga penelitian kehutanan,” kata Suhaeri, Kepala Bagian Kelembagaan Biro Hukum dan Organisasi Sekretariat Jenderal, Kementerian Kehutanan, dikutip dari situs Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung.

Masukan publik yang diterima membantu pihak Kementerian Kehutanan mengakomodasi dinamika aktivitas karbon hutan yang belum ada di peraturan-peraturan sebelumnya. Mengutip dari situs yang sama dijelaskan, salah satu latar belakang pembuatan peraturan adalah juga untuk meluruskan perbedaan aturan (gap policy) yang termuat dalam Permenhut No 14/ 2004, Permenhut No 68/2008, Permenhut No 30/2009, dan Permenhut No 36/2009. ***

Sumber :
http://www.redd-indonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=444:pengelolaan-karbon-hutan-indonesia-miliki-payung-hukum&catid=1:fokus-redd&Itemid=50

Tuesday, January 1, 2013

UNFCCC COP 18 : Indonesia’s REDD+, An Update: Future Carbon Market

Dr. Yetti Rusli, M.Sc
Advisor to the Minister for
Environment & Climate Change,
Ministry of Forestry, Indonesia
Session: REDD+ and Carbon Market
10.00 – 12.00 in Al Ghariyah 1, 8th Floor

One method of reducing greenhouse gas (GHG) emissions is through reducing emissions from deforestation and forest degradation. Almost half of Indonesia’s total land area is forest cover. The country is host to the third largest tropical rainforest in the world which is home to a large and diverse biodiversity. Not only are the forests of the archipelago vital for both the Indonesian people and economy but they also form part of the lungs of the world.

REDD+, which includes such activities as sustainable forest management and enhancement of forest carbon stock, is a policy that may be very suited to the Indonesian environmental and societal landscape. REDD+ coupled with the carbon market provides financial and market based incentives for projects. It also allows for partnerships and cooperation to be developed among the relevant stakeholders both within Indonesia.

This session, hosted by the Ministry of Forestry of the Republic of Indonesia, will explore the progress of climate change efforts in the forestry sector, which include national and sub national policy and programs, methodology, technology and institutional set up for REDD+ in Indonesia.Additionally, the session will provide information on various on-going projects and projects that are being developed under the umbrella of the REDD+ Indonesia Project, as well as taking the opportunity to show the high investment potential of these projects and in REDD+ and the carbon market, particularly in Indonesia.

Indonesia’s REDD+, An Update: Future Carbon Market by Dr. Yetti Rusli, M.Sc

Speakers

  • Dr. Agus Justianto, Director of Center for Forestry Education and Training, Ministry of Forestry, Indonesia
  • Dr. Yetti Rusli, Advisor to the Minister for Environment & Climate Change, Ministry of Forestry, Indonesia 
  • Mr. Dicky Edwin Hindarto, Coordinator of Carbon Trade Mechanism Division, National Council on Climate Change, Indonesia
  • The Nature Conservancy
  • Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP), Indonesia
  • Ms. Rita Widyasari, Head of Kutai Kartanegara District, Indonesia
  • Zoological Society of London
  • Mr. Grahame Applegate, Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP)
  • Mr. Juliarta Bramansa, Partners of Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP)
  • Mr. Silver Hutabarat, INCAS
  • Ms. Hermine Kleymann, Central Kalimantan WWF Germany
  • Mr. Wisnu Rusmantoro, WWF Indonesia
  • Mr. Hiroki Miyazono, Japan International Cooperation Agency (JICA)
  • UN REDD Programme Indonesia
  • Mr. Florian Wieneke, GIZ/KfW