Pages

Hutan Kunci Bagi Sasaran Pembangunan

Hutan dunia memainkan perang penting dalam peralihan ke ekonomi hijau, tapi pemerintah perlu berbuat lebih banyak guna menjamin hutan tersebut dikelola secara berkelanjutan

Pelet Kayu, Bahan Bakar Alternatif Rendah Emisi

Penggunaan wood pellet (pelet kayu) sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil untuk industri besar, kecil, dan rumah tangga menghasilkan emisi lebih rendah dibandingkan dengan minyak tanah dan gas.

COP19 Warsawa : Indonesia Paparkan Inisiatif Hijau Dalam Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung

"Green Initiatives on Protected Forest, Production Forest and National Parks" COP-19/CMP-9 UNFCCC, Warsawa, Polandia (15/11/2013).

Forest Landscape Restoration: Enhancing more than carbon stocks

ITTO co-hosted a discussion forum on “Forest Landscape Restoration: Enhancing more than carbon stocks” at Forest Day 6, convened during UNFCCC COP18 in Doha, Qatar.

Monday, December 31, 2012

Laju Kerusakan Hutan Menurun Tajam


Wangiwangi, Sulawesi Tenggara (ANTARA News) - Kementerian Kehutanan mengklaim laju kerusakan kawasan hutan di Indonesia selama kurun waktu tiga terakhir menurun tajam, yakni dari 2,5 hektar pertahun menjadi kurang dari 500.000 hektar.

Hal itu diungkapkan Menteri Kehutanan, Zulkiflin Hasan, dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Bupati Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Hugua, pada peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia, di Wakatobi, Senin.

"Ini berkat ketekunan dan dukungan seluruh anak bangsa dalam menyukseskan gerakan menanam 1 miliar pohon per tahun," kata Hasan, dalam sambutan tertulis tersebut.

Menurut Zulkifli secara tertulis, gerakan menanam 1 miliar pohon yang dicanangkan Presiden Susilo Yudhoyono telah mencapai hasil yang luar biasa. Tahun pertama pelaksanaan gerakan tersebut (2010), secara nasional berhasil menanam sebanyak 1,3 miliar pohon atau 130 persen dari target.

Pada 2011 ujarnya, pemerintah di seluruh Indonesia berhasil menanam 1,5 miliar pohon atau 150 persen dari target. Sedangkan pada 2012, jumlah pohon yang berhasil ditanam hanya sebanyak 732 juta pohon atau 70,32 persen dari target.

"Besaran capaian jumlah pohon yang ditanam dalam tiga tahun ini, berkat gubernur, bupati dan wali kota serta animo masyarakat yang cukup tinggi dalam menanam pohon," katanya.

(AO56)
Editor: Ade Marboen

Sumber :
http://www.antaranews.com/berita/350873/laju-kerusakan-hutan-menurun-tajam

Saturday, December 22, 2012

Menhut optimistis target tanam satu miliar pohon tercapai

Yogyakarta (ANTARA News) - Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan optimistis target penanaman pohon sebanyak satu miliar batang di seluruh wilayah Indonesia akan tercapai.

"Mudah-mudahan nanti pada akhir periode penanaman Januari 2013 akan mencapai target 1 miliar batang pohon," katanya yang ditemui saat meresmikan Hutan Pendidikan Konservasi Koesnadi Hardjasoemantri (HPKKH) di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merapi, Yogyakarta, Minggu.

Ia mencatat, pada 2010 sebanyak 1,3 miliar pohon telah ditanam dan pada 2011 sebanyak 1,5 miliar batang pohon.

Sementara untuk periode Januari - Oktober tahun ini realisasi penanaman sudah mencapai 750 juta batang pohon.

Menurut dia, kegiatan menanam satu miliar pohon mendapatkan respon luar biasa dari berbagai pihak mulai dari TNI, Polri, perguruan tinggi, pemangku kepentingan, pecinta alam, perusahaan swasta, dan masyarakat setempat.

"Tidak mungkin kami bisa memenuhi penanaman pohon di lahan yang begitu luas ini tanpa bantuan dari semua pihak," ujarnya.

Program penanaman satu miliar pohon merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi emisi karbon sebanyak 26 persen pada 2020.

Sumber :
http://www.antaranews.com/berita/347711/menhut-optimistis-target-tanam-satu-miliar-pohon-tercapai

Monday, December 10, 2012

Forest Landscape Restoration: Enhancing more than carbon stocks

Panelists (L-R) Patrick Wylie, Yetti Rusli, Bianca Jagger and Juan Carlos Jintiach with moderator Jurgen Blaser. Photo: Hwan Ok Ma/ITTO
ITTO co-hosted a discussion forum on “Forest Landscape Restoration: Enhancing more than carbon stocks” at Forest Day 6, convened during UNFCCC COP18 in Doha, Qatar. Over 150 people participated in the discussion on the important role of forest landscape restoration in contributing to ecosystem health, sustainable development, poverty alleviation and human rights, as well as carbon sequestration.

Full Video : Forest Landscape Restoration: Enhancing more than carbon stocks



stronguardian's COP 18 UNFCCC Doha album on Photobucket

Source : http://www.itto.int/news_releases/id=3241
Download the Summary of the Discussion Forum here

Sunday, December 9, 2012

Indonesia's 15 years contribution to reduce emission from deforestation


Indonesia’s tropical forests are the third largest in the world, but face numerous threats and their deforestation has contributed significantly to global emissions.

Today, Indonesia’s Ministry of Forestry and National Council on Climate Change conducted a Side Event at UNFCCC COP 18 in Qatar National Convention Center, to landmark Indonesia’s 15 years of effort to reduce emissions through deforestation. Speaking at the event are Rachmat Witoelar, President's Special Envoy for Climate Change/Executive Chair of National Council on Climate Change; 
Sánz Sánchez, FAO; Yuyu Rahayu, Ministry of Forestry; Laksmi Banowati, UN-REDD Programme Indonesia and moderated by Yetti Rusli, Ministry of Forestry.

 Indonesia, as an archipelagic country, is vulnerable to the impacts of climate change and has already experienced a wide range of natural disasters. Therefore sustainable forest management is crucial to the national agenda, as part of the national efforts to reduce emissions and tackle climate change.

 Indonesia’s forest area is 136.2 million hectares, equal to almost 120 times of state of Qatar. These forests have functioned as the lungs of the world, providing oxygen for the globe for many millions of years. Indonesian forests house incredible biodiversity and give direct benefits to people who live in and depend on forests, as well as providing ecosystem services at a local, national and regional level that are crucial for life. They are shelters to 38,000 plant species, 12% of world mammals, 7,3% of world reptiles and 17% of worlds birds with 270 species of amphibians, and 2,827 species of invertebrate.
 
 As a developing country, Indonesia is striving for prosperity for its people, cutting forests and selling timber present an opportunity to achieve this. Since its reformation in 1998, Indonesia has been going towards democracy and economic growth. The country has faced economic crises, several natural disasters caused by climate change and domestic problems such as locally elected government officials who preferred deforestation. But now, forest is high in the administrative agenda of President Yudhoyono, to serve the national development that is pro poor, pro jobs, pro environment and pro growth.

 Indonesia now has changed its pathway to manage its forests in a sustainable way, by supporting economic growth while committed to 26% emissions reduction. Keeping the forest in not only the responsibility of the current government. It also needs worldwide assistance. Taking care of Indonesia’s forest is a support for humanity.

REDD+

Indonesia was significantly involved in laying the ground of REDD + at COP 13 in Bali, specifically the Bali Action Plan article 1 b iii. The process from Bali, to Copenhagen, Cancun and Doha is a preparation for a mechanism to be agreed by all concerned.

Indonesia possesses and implements various REDD + agenda in line with national development programs, ranging from reducing deforestation through the eradication of illegal logging and illegal logging trade, conducting mass tree planting (1 billion national trees planting movement), and improving regulation, technology, and capacity management of forests.

Indonesia is most advanced in implementing REDD+ mainly through various Demonstration Activities schemes or embedded in economic, environmental and social programs (pro-jobs, pro-poor, pro-growth and pro-environment). Based on Cancun Agreement, to implement REDD+, countries should be preparing establishment of national REDD+ strategy, national forest reference emission level and/or forest reference level, national forest monitoring system and safeguards. “We had been preparing those steps and are ready to implement REDD+ in Indonesia” say Yetti Rusli, Indonesia Ministry of Forestry.
In the immediate future, it is important for the country to have the capability of scaling up best practices through efficiency, effectiveness, coordination and transparency in implementing  REDD+
Indonesia aims at being one of the lead countries in performing scale up and speed up efforts in climate change mitigation and adaptation.

Forests matter for Indonesia. At the Doha Climate Change Conference, Indonesia is fighting for the best outcome of REDD+. “Indonesia sees REDD+ as a golden opportunity to combine forest conservation and economic welfare. To have the cake and eat it too, as REDD+ is an opportunity to add value to forest as it is, and not only as timber, soil or underground minerals” says Rachmat Witoelar,  Head of the Indonesian Delegation and Executive Chairman of the National Council on Climate Change.

 Indonesia approves the first REDD+ project

President Yudhoyono has been consistent with his commitments to protect the remaining forests in Indonesia. Last week the Ministry of Forestry granted an area of almost 80 thousand hectares, for Rimba Raya Biodiversity Reserve as a restoration model and a buffer zone for orang utan conservation, adjacent to Tanjung Puting National Park in Central Kalimantan. The project aims for community-based activities, biodiversity protection, reforestation, greenhouse aquaponics and eco-tourism.

“REDD + plays an important role in reducing emissions from the forestry sector, but the cost for REDD+ forests and community-based activities is high, so Indonesia urges developed countries to immediately realize the financing for REDD+” says Rachmat Witoelar.

 “I am proud that Central Kalimantan is able to deliver the world’s flagship REDD+ project. We look forward to working with the project developers in a cooperative “learning by doing” environment,” says Teras Narang, Governor of Central Kalimantan Province, Indonesia. Central Kalimantan is home to the orangutans, and the national REDD+ pilot province under REDD+ partnership with Norway.

As the Doha talks continue, Indonesia reminds the world that global solutions need action. Developed and developing countries can be part of the solutions by making and acting upon their commitments. Words without actions are meaningless.

Source :
http://www.setkab.go.id/international-6586-indonesias-15-years-contribution-to-reduce-emission-from-deforestation.html

Sekjen PBB puji hasil KTT Doha

PBB, New York (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Ban Ki-moon, Sabtu (8/12), menyambut baik hasil konferensi iklim PBB di Ibu Kota Qatar, Doha, dan menyerukan upaya lebih banyak internasional guna membatasi kenaikan temperatur global jadi dua derajat Celsius.

"Sekretaris jenderal percaya masih banyak lagi yang perlu dilakukan dan ia menyeru pemerintah, serta pengusaha, masyrakat dan warga sipil, agar mempercepat tindakan di lapangan sehingga kenaikan temperatur global dapat dibatasi jadi dua derajat Celsius," demikian pernyataan yang dikeluarkan juru bicara Ban.

Pembicaraan iklim PBB di Doha, Sabtu, mensahkan satu paket rancangan bagi masa kedua tak terlalu ambisius Protokol Kyoto dan komitmen lemah mengenai dana iklim setelah perundingan, Jumat malam, tentang perbedaan antara negara maju dan berkembangan.

Penutupan pertemuan dua-pekan itu di Ibu Kota Qatar, Doha, ditunda selama hampir sehari penuh, sementara para diplomat dari lebih 190 negara mendesak dicapainya kemajuan, sekecil apa pun itu.

Menurut Presiden Konferensi tersebut Abdullah bin Hamad al-Atiiyah, kesepakatan baru akan diterpakna dari 2013 sampai 2020.

Protokol Kyoto adalah satu-satunya rencana PBB yang mewajibkan negara maju untuk mengurangi buangan karbon. Masa komitmen pertamanya berakhir pada penghujung tahun ini.

Itu adalah langkah penting menuju kesepakatan baru global PBB yang akan disepakati pada 2015 dan mulai berlaku pada 2020.

Ban mengatakan di dalam satu pernyataan bahwa ia "akan meningkatkan keterlibatan pribadinya dalam upaya untuk meningkatkan ambisi, menambah dana iklim, dan melibatkan pemimpin dunia sebab kita sekarang bergerak menuju kesepakatan global pada 2015", demikian laporan Xinhua --yang dipantau ANTARA di Jakarta, Ahad.

Namun, tak ada sasaran lebih keras bagi pengurangan buangan gas oleh negara maju di Doha.

Uni Eropa berpegang pada sasarannya, pengurangan sebanyak 20 persen, dan menyampaikan kembali langkah lebih lanjut jadi 30 persen akan mengharuskan komitmen negara maju bagi pengurangan buangan yang sebanding.

Posisi tawarnya melemah sebab Uni Eropa telah dilaporkan memenuhi sasaran 20 persennya, delapan tahun sebelum waktunya, dan tak memiliki rencana untuk mengajukan pengurangan yang lebih ambisius.

Yang lebih mengecewakan, Amerika Serikat menyatakan negara adidaya tersebut hanya bisa mengurangi buangan gas rumah kacanya sebanyak 17 persen sampai 2020 dari tingkat 2005, yang berarti pengurangan tiga persen sampai empat persen di bawah tingkat 1990. Sementara itu Australia mengusulkan pengurangan buangan gas 0,5 persen dari 1990.

Pertemuan tersebut meminta negara maju mengajukan keterangan mereka paling lambat pada 2014 mengenai kemajuan mereka ke arah pencapaian pembatasan buangan yang terukur dan potensi bagi peningkatan ambisius.

Thursday, December 6, 2012

Konferensi Iklim Doha desak negara maju kurangi emisi


Doha (ANTARA News) - Konferensi tentang perubahan iklim PBB yang dibuka pada Senin (26/11) di Doha, Qatar, menyerukan tindakan dan komitmen lebih besar dari negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang membuat Bumi bertambah panas.

Ketua Lembaga Transparansi dan Pemantauan Administrasi Qatar, Abdullah bin Hamad Al-Attiyah, yang memegang jabatan sebagai Presiden dalam konferensi tersebut mengatakan konferensi dua-pekan tersebuut merupakan kesempatan berharga bagi setiap peserta untuk mengajukan upaya menyelamatkan Bumi.

Sekretaris Pelaksana Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) Christiana Figueres mengatakan dalam konferensi itu para perunding akan menyelesaikan pekerjaan yang digagas dalam Konferensi Para Pihak (COPs) sebelumnya, terutama langkah maju yang dicapai di Bali, Indonesia.

Menurut laporan Xinhua, dia mengatakan bahwa pertemuan di Doha akan merancang pengaturan terperinci tentang masa komitmen kedua Protokol Kyoto, kesepakatan yang secara hukum mengikat dan mengharuskan negara industri memangkas buangan karbon.

Selain masalah yang berkaitan dengan perpanjangan Protokol Kyoto, perencanaan pekerjaan berdasarkan Landasan Durban --mekanisme baru perundingan-- dan pemetaan langkah maju dalam pendanaan iklim jangka panjang juga menjadi prioritas pembahasan.

Figueres meminta semua peserta memberikan perhatian terhadap dukungan dana dan teknis yang sangat diperlukan negara berkembang guna mengantisipasi dampak pemanasan global.

Beberapa hari sebelum konferensi, Figueres mengatakan di Bonn, Jerman, tempat UNFCCC berpusat, bahwa konferensi Doha harus menyampaikan sasarannya guna mempercepat aksi global dalam mencapai emisi gas yang lebih rendah.

Saat konferensi, wakil delegasi China, Su Wei, menyatakan sikap negara-negara BASIC (Brazil, Afrika Selatan, India dan China) tentang tantangan perubahan iklim.

"Perubahan iklim adalah tantangan yang melemahkan kemampuan negara berkembang untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan," katanya.

"Masyarakat internasional perlu memperkuat rejim aturan iklim berbasis multilateral yang sudah ada dan melakukan tindakan konkret sesuai dengan prinsip-prinsip dan ketentuan Konvensi," tambah dia.

Dia juga menekankan pihak yang berkepentingan harus melindungi sistem iklim berdasarkan asas kesetaraan dan kesesuaian dengan prinsip umum namun dengan perbedaan tanggung jawab sesuai kemampuan masing-masing.

Sumber :
http://www.antaranews.com/berita/345537/konferensi-iklim-doha-desak-negara-maju-kurangi-emisi

Wednesday, December 5, 2012

Ministry of Forestry Event at UNFCCC COP 18 : Indonesia's 15 Years Contribution to Combat Climate Change: Reducing Deforestation


Indonesia’s National Forest Monitoring System (INFMS) has been established and embedded within the Ministry of Forestry to provide information on the location and extent of the main forest and land use types, to estimate volume and growth by forest type, and to assess the state of the forests.

The monitoring system has four main components:

  1. forest resources (status) assessment
  2. forest resources (change) monitoring
  3. geographic information system and 
  4. users’ involvement. 


Wednesday, 5 December 2012 20.15 – 21.45 pm

Qatar National Convention Center (QNCC), Side Event Room 6

Moderator:
Yetti Rusli, 
Senior Adviser to Minister of Forestry on Environment and Climate

Presentation
Keynote Speech Rachmat Witoelar,
President's Special Envoy for Climate Change/Executive Chair of National Council on Climate Change

Movie: 'The Leaf Lies a Breath'

Indonesian's Programme for Reducing Emission

Agus Purnomo,
Special Staff to the President for Climate Change, the Head of National Council of Climate Change Secretariat

FAO: Forest Monitoring and REDD+
Sánz Sánchez, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO)

Indonesian's National Forest Monitoring System (NFMS)
Yuyu Rahayu, Director Forest Resources Inventory and Monitoring, MoFor

Sub national REDD+ MRV development and Provincial Action Plan for Reducing Emission
Laksmi Banowati, UNREDD Programme Indonesia Panel Discussion

Closing Remark
Ambassador of the Republic of Indonesia in Doha

http://nfms.dephut.go.id/

Sunday, December 2, 2012

COP 18/CMP 8 UNFCCC Doha, Qatar


COP 18/CMP 8 UNFCCC Doha, Qatar 26 November – 7 Desember 2012.
“Indonesia mengharapkan semua negara maju menandatangani Protokol Kyoto periode komitmen kedua”.

Kelanjutan periode komitmen Protokol Kyoto adalah salah satu agenda penting dalam konferensi tahunan perubahan iklim yang akan digelar di Doha, Qatar, pada tanggal 26 November – 7 Desember 2012.

Protokol Kyoto adalah kesepakatan global di bawah UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) yang mengatur upaya penurunan emisi oleh negara-negara yang dikategorikan sebagai negara industri maju dan yang telah menghasilkan emisi gas rumah kaca ke atmosfir, penyebab terjadinya perubahan iklim. Berakhirnya periode komitmen pertama pada akhir tahun ini diharapkan akan diikuti dengan kesepakatan mengenai periode komitmen kedua dimana negara maju akan menyatakan kesediaannya untuk menandatangani. Beberapa negara telah menyatakan tidak akan mengikatkan diri kepada periode komitmen kedua. Meskipun demikian, Indonesia berharap Protokol Kyoto tahap kedua ini akan segera efektif per 1 Januari 2013.

Agenda

Menurut Ketua Delegasi Republik Indonesia, Rachmat Witoelar, mengatakan bahwa agenda terkait kelanjutan Protokol Kyoto termasuk membahas lamanya periode komitmen kedua yang hingga kini belum dicapai kesepakatan. Sebagian negara menginginginkan hingga tahun 2020, mengingat rezim global baru yang akan mengatur upaya penanggulangan perubahan iklim direncanakan akan mulai efektif tahun 2020. Namun beberapa negara menginginkan periode komitmen yang lebih pendek agar penurunan emisi yang signifikan segera terjadi sehingga dampak negatif perubahan iklim dapat dihindari. “Indonesia mengharapkan negara maju menunjukkan kepemimpinannya dalam upaya penyelamatan bumi dari kerusakan akibat perubahan iklim yang kian meningkat. Meski negara berkembang, Indonesia telah mengambil inisiatif penting dalam upaya penurunan emisi dan adaptasi terhadap perubahan iklim”, kata Rachmat Witoelar yang juga Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim.

Selain agenda terkait Protokol Kyoto, COP18/CMP8 UNFCCC di Doha diharapkan akan menuntaskan pembahasan Bali Action Plan yang terdiri dari agenda peningkatan aksi penanggulangan perubahan iklim seperti mitigasi di negara maju dan berkembang, adaptasi di negara berkembang dan rentan, serta penyediaan pendanaan dan investasi, teknologi dan peningkatan kapasitas bagi negara berkembang. Agenda Bali Action Plan yang dihasilkan oleh COP 13 tahun 2007 di Indonesia tersebut selama ini dibahas dalam Ad-hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA) yang dimandatkan untuk berakhir di Doha.

Menurut Rachmat Witoelar, agenda penting lain yang akan mewarnai pertemuan di Doha adalah kelanjutan pembahasan mengenai rezim global baru yang ditargetkan menyelesaikan kesepakatan pada tahun 2015. Agenda tersebut merupakan hasil keputusan COP tahun lalu di Durban dan telah memulai kerjanya awal tahun ini. Pembahasan tersebut berlangsung dalam Ad-Hoc Working Group on Durban Platform for Enhanced Action (ADP).

Indonesia Anggota GCF

Salah satu isu terkait Bali Action Plan yang akan mengemuka di Doha adalah tuntutan akan realisasi komitmen negara maju untuk menyediakan pendanaan jangka panjang (long-term finance) sebesar US$100 milyar per tahun sampai tahun 2020 yang telah dideklarasikan di Kopenhagen pada akhir tahun 2009. Wadah untuk mengelola dana tersebut sudah dibentuk, yaitu Green Climate Fund (GCF), namun hingga kini belum ada pernyataan yang jelas dari negara maju mulai kapan dan melalui mekanisme apa mereka akan menyalurkan dana tersebut.

Sekretaris Kelompok Kerja Pendanaan DNPI, Suzanty Sitorus, mengatakan Indonesia berhasil menjadi anggota Board of the Green Climate Fund untuk masa kerja 3 tahun pertama. Wakil Indonesia di Board GCF adalah Prof.Dr. Bambang Brodjonegoro, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Selain itu, Indonesia akan menjadi anggota Standing Committee on Finance mulai September 2013-2015. Indonesia juga memberikan kontribusi positif terhadap proses perundingan UNFCCC khususnya dalam isu pendanaan Indonesia melalui terpilihnya anggota delegasi Indonesia untuk memimpin berbagai sesi negosiasi pendanaan. Melalui peran aktif dalam proses UNFCCC tersebut dan juga keanggotaan dalam entitas-entitas pendanaan tersebut, Indonesia memperjuangkan agar pendanaan untuk upaya penanggulangan perubahan iklim di negara berkembang dapat dimobilisasi dari berbagai sumber secara efektif dalam jumlah yang memadai dan dapat diprediksi besaran alirannya.

Kegiatan pendukung

Dalam rangkaian acara COP 18/ CMP 8 Indonesia akan menyelenggarakan beberapa kegiatan yang memaparkan usaha dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, yaitu Indonesia Climate Change Day & Exhibition pada tanggal 1 & 2 Desember serta Side Event pada 5 Desember.

Indonesia Climate Change Day diawali pada 1 Desember 2012 dengan serangkaian seminar dan lokakarya di Hotel La Cigale yang akan mengetengahkan basis ilmiah perubahan iklim, kebijakan dan program, serta tantangan dan peluang bisnis dalam menanggulangi perubahan iklim khususnya di Indonesia melalui tema “The Business Response to the Challenges and Opportunities of Climate Change in Indonesia” Pada tanggal 1 dan 2 Desember 2012 di tempat yang sama akan diselenggarakan pameran yang diperkaya dengan penampilan produk hijau dan kuliner Indonesia guna memperkuat diplomasi budaya di lingkup internasional.

Side event pada 5 Desember 2012 mengambil tema "Indonesia's 15 Years Contribution to Combat Climate Change: Reducing Deforestation". Pada kesempatan ini pembicara dari FAO akan menyajikan status hutan di dunia sedangkan Kementerian Kehutanan akan memaparkan aktivitas REDD+ serta National Forest Monitoring System yang antara lain menunjukkan pengurangan nyata deforestasi di Indonesia.

Sumber :
http://dnpi.go.id/portal/id/berita/berita-terbaru/200-cop-18-cmp-8-unfccc-doha-qatar
Website Resmi COP18 :
http://www.cop18.qa/

Dr. Yetti Rusli, M.Sc : Indonesia Harus Bangga Punya REDD+


Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-17 untuk Perubahan Iklim atau COP 17 dilaksanakan di Durban, Afrika Selatan, dari tanggal 28 November hingga 9 Desember 2011. Satu tujuan utama Konferensi ini adalah menetapkan kesepakatan baru untuk menangani perubahan iklim global karena periode Protokol Kyoto—yang sebelumnya merupakan kesepakatan beberapa negara untuk menangani perubahan iklim—akan berakhir pada 2012. Banyak pihak menilai COP 17 sukses membuat sejumlah pencapaian. Namun, tak sedikit pula yang menilai pencapaian itu belum cukup untuk mengatasi pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim.

Untuk mengetahui gambaran umum pelaksanaan COP 17, terutama terkait sektor kehutanan yang menjadi perhatian utama Indonesia, berikut petikan wawancara dengan Dr. Yetti Rusli, Staf Ahli bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim sekaligus Ketua Kelompok Kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan Republik Indonesia (RI).

Apa hasil yang dicapai COP 17 di Durban, Afrika Selatan? Apakah sukses atau masih jauh dari
harapan?

Indonesia sebenarnya sudah mengukir kesuksesan sejak COP 13 di Bali pada tahun 2007. Kesuksesan
itu diraih dengan diakuinya empat pilar pembangunan kehutanan untuk menanggulangi perubahan iklim, yaitu menurunkan laju emisi dari kerusakan hutan, upaya konservasi, upaya menambah penyerapan karbon di hutan, dan pengelolaan hutan lestari.

Sebelum Bali, hanya pilar kehutanan pertama yang diakui. Nah, di Bali tiga pilar terakhir diakui, dan Indonesia yang paling berperan dalam hal itu, dengan turunnya langsung Presiden ke Konferensi. Setelah itu, keempat pilar tersebut disebut sebagai REDD+ dan didokumentasikan di dalam Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord, Denmark, COP 15, 2009). Jadi, REDD+ adalah empat pilar pembangunan kehutanan.

Dengan keberhasilan di Bali, Indonesia kini tinggal mengawal negosiasi-negosiasi agar terus mengalami kemajuan. Sementara itu, kesiapan di tingkat nasional juga terus berjalan agar sesuai dengan arah pembangunan.

Lalu bagaimana kemajuan REDD+ di Durban?

Di Durban, banyak dibicarakan sisi pendanaan untuk REDD+. Bagi saya, itu juga merupakan kemajuan di sektor kehutanan. Kalau untuk sektor lain mungkin masih pelan, apalagi negara negara maju masih berdebat untuk menentukan target pengurangan emisi mereka. Tapi kita harus memahami, sebab ekonomi dunia masih dalam posisi sulit. Dalam kondisi seperti itu, mereka tak bisa memaksakan diri untuk menurunkan emisi. Itu akan sangat berpengaruh terhadap ekonomi.

Apa agenda Indonesia di Durban?

Di Durban, Kementerian Kehutanan RI masih terus mengawal berbagai negosiasi dan melihat banyak
kemajuan, misalnya dalam hal kerangka pengaman (safeguard) dan pendanaan. Akan tetapi, memang perkembangan masalah pendanaan masih dini. Sektor hutan adalah unggulan Indonesia.

Jadi Indonesia harus bangga punya REDD+. Bagi Indonesia, intinya hanya dua, menanam pohon sebanyakbanyaknya lalu memelihara hutan, kemudian mendatangkan investasi, dan menciptakan pasar untuk itu. Semua bisa melakukan itu, dari masyarakat hingga pengusaha. Yang penting nilai tambahnya dari kegiatan itu harus lebih tinggi.Kalau harga karbonnya lebih rendah daripada harga kayu, ya mending nggak usah dagang karbon. Tapi kalau (harga karbon--red) lebih tinggi, pengusaha kayu pun akan tertarik berbisnis karbon.

Apa yang membuat COP 17 berbeda dengan COP lain?

Bagi delegasi RI, yang berbeda kali ini adalah adanya acara tambahan (side event) dan Pavilion Indonesia. Di kedua forum itu Indonesia bisa menampilkan hal-hal yang sudah dilakukan oleh bangsa ini, pemerintah, masyarakat, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan pengusaha, terkait penurunan emisi gas rumah kaca.

Presentasi-presentasi itu tak hanya menyajikan pengalaman di lapangan, tapi juga data yang ditunjang oleh riset dan analisis akademik, termasuk yang dilaksanakan oleh masyarakat (community), sehingga menjadi bukti bahwa Indonesia memang mampu. Hal itu tentunya menarik bagi banyakpihak yang mengikuti presentasi presentasi tersebut. Bagi kehutanan Indonesia, Pavilion dan side event menjadi wadah pembuktian bahwa REDD+ di Indonesia betul-betul berada pada baris terdepan di dunia.

Sumber : Newsletter COP17 Durban 2011

Saturday, December 1, 2012

Masyarakat adat bisa kelola hutan


Jakarta (ANTARA News) - Deputi II Urusan Advokasi, Hukum, dan Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Mina Susena Setra, menegaskan, masyarakat adat melalui kearifan lokalnya bisa mengelola sendiri hutannya.

"Contohnya pengelolaan hutan oleh masyarakat adat di Rumah Panjang Sungai Utik, Kalimantan Barat. Di sana, semua komunitas mempunyai pengelolaan sendiri seperti mana wilayah untuk peladangan, berburu hingga hutan keramat," ujar Mina.

Mina jadi pembicara dalam diskusi "Melampaui Karbon: REDD+ Menuju Pembangunan yang Berkelanjutan dan Berkeadilan Sosial" di Jakarta, Selasa.

Dengan demikian, Mina meyakini tidak perlu mengambil tata cara pengelolaan hutan dari luar negeri, karena masyarakat adat mempunyai tata cara pengelolaan hutan sendiri.

"Apa yang dilakukan masyarakat adat sangat penting untuk Indonesia."

Dia mengatakan, ke depannya pengelolaan hutan melalui masyarakat adat perlu mendapat tempat. Masyarakat adat perlu juga menunjukkan jati dirinya.

Direktur Jaringan Untuk Hutan (JAUH), Silverius Oscar Unggul, mengakui pengelolaan hutan di Tanah Air dilakukan dengan tidak lestari.

Pengelolaan hutan --dengan melibatkan masyarakat-- dapat dilakukan secara besar-besaran seperti yang dilakukan perusahaan kayu di Swedia, Sodra.

"Swedia yang hanya mempunyai luas hutan satu persen saja, bisa memproduksi 10 persen dari industri kayu dunia karena pengelolaan hutan rakyatnya yang sangat baik," ujar Silverius.

Silverius mengatakan ke depannya, perlu mencari kolaborasi yang baik dalam pengelolaan hutan.

General Manager PT Kemakmuran berkah Timber, Sukadi, mengatakan perusahaannya sudah melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

Sumber :
http://www.antaranews.com/berita/345565/masyarakat-adat-bisa-kelola-hutan