Pages

Hutan Kunci Bagi Sasaran Pembangunan

Hutan dunia memainkan perang penting dalam peralihan ke ekonomi hijau, tapi pemerintah perlu berbuat lebih banyak guna menjamin hutan tersebut dikelola secara berkelanjutan

Pelet Kayu, Bahan Bakar Alternatif Rendah Emisi

Penggunaan wood pellet (pelet kayu) sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil untuk industri besar, kecil, dan rumah tangga menghasilkan emisi lebih rendah dibandingkan dengan minyak tanah dan gas.

COP19 Warsawa : Indonesia Paparkan Inisiatif Hijau Dalam Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung

"Green Initiatives on Protected Forest, Production Forest and National Parks" COP-19/CMP-9 UNFCCC, Warsawa, Polandia (15/11/2013).

Forest Landscape Restoration: Enhancing more than carbon stocks

ITTO co-hosted a discussion forum on “Forest Landscape Restoration: Enhancing more than carbon stocks” at Forest Day 6, convened during UNFCCC COP18 in Doha, Qatar.

Thursday, November 29, 2012

Green Economy Bisa Ciptakan Jutaan Lapangan Kerja

pengangguran bisa diatasi dengan green economy
Investasi green economy adalah aktifitas perusahaan yang bisa mengurangi dampak kerusakan lingkungan.

Indonesia bisa menciptakan jutaan lapangan pekerjaan melalui investasi green economy.

Dalam laporan Green and Decent Job yang dirilis International Trade Union Confederation (ITUC), Indonesia menempati urutan ketiga negara paling potensial menciptakan lapangan kerja di bidang green economy, setelah Amerika Serikat (AS) dan Brazil.

Laporan yang menyoroti potensi lapangan kerja di 12 negara tersebut menyebutkan, jika Indonesia melakukan investasi 2 persen dari pendapatan negara untuk green economy, maka dalam lima tahun ke depan, Indonesia bisa menciptakan 4,4-6,3 juta lapangan kerja baru.

"Dua persen dari pendapatan negara itu tidak harus dikeluarkan dari pemerintah, bisa dari swasta. Pemerintah bisa memfasilitasi regulasi dan insentif pajak," ujar Sekretaris Jenderal ITUC, Sharan Burrow, di Jakarta, hari ini.

Menurut dia, investasi yang masuk kategori green economy adalah aktifitas perusahaan yang bisa mengurangi dampak kerusakan lingkungan seperti pembuatan solar panel, turbin tenaga angin, konstruksi retrofitting, atau transportasi massal yang mengurangi polusi.

"Dari sektor transportasi Jakarta misalnya, kami perkirakan untuk tiap US$1 juta yang dihabiskan bisa tercipta 656 pekerjaan," ujar Sharan.

Secara global, jika setiap negara menginvestasikan 2 persen dari pendapatannya setiap tahun, maka selama lima tahun berturut-turut diperkirakan tercipta 48 juta lapangan pekerjaan baru.

"Ini akan menjawab dua kebutuhan sekaligus, yaitu kebutuhan akan pekerjaan dan kebutuhan untuk melestarikan lingkungan," ujar Sharan.

Anggota komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan, perlu dilihat apakah investasi green economy menguntungkan kaum buruh.

"Daerah-daerah kantong TKI itu rata-rata luar biasa subur dan punya banyak sumber daya alam, tetapi penduduknya miskin karena keuntungan bukan untuk mereka," katanya.

Sumber :
http://www.beritasatu.com/ekonomi/47439-green-economy-bisa-ciptakan-jutaan-lapangan-kerja.html

Sunday, November 25, 2012

Indonesia-Korsel kembangkan "Sister Park"

Jakarta (ANTARA News | 24/11/12) - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan bersama dengan Korea National Park siap mengembangkan "Sister Park" sebagai upaya kerja sama pengelolaan Taman Nasional di kedua negara.

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan, Darori Wonodipuro di Jakarta, Jumat, mengatakan, dalam menerapkan sistem pengelolaan Taman Nasional tersebut akan lebih melibatkan dan menguntungkan masyarakat.

Pada kesempatan tersebut Dirjen PHKA bersama pimpinan Korea National Park Service Chung Kwang Soo melakukan penandatanganan kerja sama pengelolaan taman nasional di kedua negara tersebut.

"Melalui kerja sama ini diharapkan akan memberikan percepatan bagi peningkatan kapasitas pengelolaan Taman Nasional di kedua negara," kata Darori.

Di antara peningkatan yang diharapkan dari kerja sama ini adalah berkembangnya teknis pengelolaan Taman Nasional, wisata alam, restorasi habitat dan pemulihan spesies yang terancam punah, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan, saling kunjung dan magang bagi staf di lapangan.

Lokasi tahap awal yang telah disepakati yaitu di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Indonesia) dan Taman Nasional Jirisan (Korea Selatan) yang memiliki kemiripan ekologi dan ekosistem pegunungan.

Untuk selanjutnya akan ditambahkan lokasi lain yang memiliki kemiripan ekosistem perairan, dengan pilihan antara lain Taman Nasional Takabonerate, Taman Nasional Bunaken, Taman Nasional Karimun Jawa, Taman Nasional Kepulauan Seribu atau Taman Nasional Ujung Kulon di Indonesia yang akan dipasangkan dengan Taman Nasional Dodonghaesang (Korea).

"Kerja sama ini akan berlaku selama tiga tahun, dan dapat di perpanjang atau di replikasi ke tempat lain berdasarkan evaluasi bersama," kata Darori.

Pada kesempatan itu dia juga mengatakan kerja sama ini bersamaan dengan persiapan perubahan Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Ia berharap perubahan Undang-Undang ini dapat mengurangi porsi pendekatan keamanan dan pembatasan pada pengelolaan hutan yang saat ini terjadi, menjadi pendekatan yang saling menguntungkan, baik bagi pengusaha maupun masyarakat.

"Pengalaman yang sedang kita lakukan, dengan adanya penjarahan, pengrusakan Taman Nasional dengan cara mengusir, itu belum bisa menyelesaikan. Tapi justru malah tambah," katanya.

Oleh karena itu, lanjutnya, perlu ada sistem yang baru, yang tidak melanggar undang-undang.

Dengan keterbatasan Undang-Undang 41, tambahnya, pemanfaatan hutan hanya boleh di hutan lindung dan hutan produksi, tapi hutan konservasi tertutup.

Oleh karena itu, menurut dia, dalam rangka review Undang-Undang 5 tahun 1990, perlu adanya informasi, cara-cara, sehingga tidak mengulang kembali hal-hal yang menutup untuk perkembangan ekonomi, ekologi dan sosial di Indonesia.
(S025/Z002)

Sumber :
http://www.antaranews.com/berita/345069/indonesia-korsel-kembangkan-sister-park

Wednesday, November 21, 2012

Hutan primer Indonesia tinggal 64 juta Hektare

Jakarta (21/11/2012 ~ ANTARA News) - "Hutan di Indonesia yang tersisa dalam kondisi bagus (primer) terhitung ada 64 juta hektar sedangkan yang masih dalam keadaan kritis sebanyak 90 juta hektar," kata Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan.

"Tidak boleh lagi ditebang dan dijaga kelestarian lahan tersebut," kata Hasan, usai penanaman pohon di kawasan DAS Ciliwung, Gunung Tikukur, Bogor, Rabu. Kerusakan hutan atau alih fungsi hutan sudah menunjukkan dampak destruktifnya, banjir di mana-mana namun kering kerontang pada musim kemarau.

Menurut dia semua pihak harus ikut melestarikan hutan, serta ikut berpartisipasi dalam program menanam pohon yang digalakkan pemerintah.

"Perlu dukungan semua pihak, termasuk swasta, BUMN, LSM, dan peran serta masyarakat dalam program penghijauan ini," kata dia. Jika hanya pemerintah menanam ,butuh waktu lebih dari seratus tahun. Tapi, jika semua pihak terlibat, maka hanya perlu 25 tahun Indonesia bisa kembali hijau.

Dalam beberapa tahun terakhir telah melaksanakan program penanaman pohon yang setiap tahunnya bertambah dalam hal kuantitas. Pada 2008 sebanyak 100 juta pohon, 2009 sekitar 200 juta, 2010 1,3 milyar pohon, 2011 sebanyak 1,5 milyar pohon, sedangkan sampai hari ini sebanyak 700 juta pohon dan diharapkan sampai Januari nanti lebih dari 1 milyar pohon.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Seksi Operasi Brigade Lintas Udara 17 Kostrad, Mayor Infantri Agus Harimurti Yudhoyono, mengatakan, penanaman pohon harus menjadi kepedulian publik untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup Indonesia.

"Jika tiap individu masyarakat tidak memiliki hasrat memelihara hutan kita, maka kepedulian publik sangat penting. Jangan mudah merusak lingkungan. Think big do small do that," kata dia, memakai bahasa Inggris untuk sesuatu yang sebetulnya ada dalam bahasa Indonesia.

Sumber :
http://www.antaranews.com/berita/344649/hutan-primer-indonesia-tinggal-64-juta-hektare

Tuesday, November 13, 2012

A green economy: Is it possible?

Next year is Rio+20. In 1992, leaders of the world gathered in Rio de Janeiro, Brazil, to agree on a different way to develop, and signed the Earth Charter, as well as other international environmental agreements including the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

The so-called World Conference on Environment and Development was followed by the World Summit on Sustainable Development in 2002 in Johannesburg, South Africa, to further the convergence of environment and development.

Next year, the 20th anniversary will bring us back to Rio de Janeiro. The theme will be ?green economy?.

Indonesia has seen some interesting dynamics in green economics in the past couple of years. At the G20 meeting in Pittsburgh, President Susilo Bambang Yudhoyono announced a commitment to reduce Indonesia?s greenhouse gas emissions to 26 percent below its business-as-usual trajectory, and 41 percent if financial involvement from foreign countries was made available, by 2020.

The target is known as the ?7/26? target: An emissions reduction of 26 percent below business-as-usual, while maintaining economic growth at 7 percent per year. These figures, in addition to targeting to reduce poverty levels to below 11 percent, reducing unemployment to below 14 percent, make up Indonesia?s ?pro-growth, pro-poor, pro-job and pro-green? development targets. The ?7/26? target is basically a green economy commitment.

Rhetoric aside, implementation will be challenging. Questions remain as to whether a green economy is possible. Can Indonesia reduce its greenhouse gas emissions while continuing to grow?

Integrating economic development and environmental protection is a classic challenge. But more recently, it has been shown that economic development not only affects but is also affected by the quality of the ecosystem. A green economy therefore offers the following methods: first, accounting for the costs associated with pollution and environmental degradation in black sectors. The traditional way of accounting economic growth omits environmental costs, although someone, somewhere, must pay them. Only by taking these costs into account can we understand the real growth of the economy.

Second, accounting for the benefits associated with protecting the environment and ecosystem services. As with costs, environmental benefits have also not been properly accounted for in traditional models used to project economic growth. At present, when duly unitized, ecosystem services can be monetized and thus provide real economic and financial benefits.

Third, shifting sources of growth from ?black? to ?green? sectors. Green growth does not aim to reduce growth. It aims to change the way growth is created and to shift sectors that are the sources of growth. By shifting the sources of growth from ?black? (polluting) to the green (clean) sectors, pollution is minimized while ecosystem services are maximized.

Back to the ?7/26? target. According to the most recent National Action Plan for the Reduction of Emissions of Greenhouse Gases, Indonesia needs to cut 767 million tons of carbon-equivalent greenhouse gases unilaterally. Forestry and peat contributes the largest amount. About 672 million tons or 88 percent of the reduction is expected to come from the forestry and peat sectors. Taking a look at the development of the forestry sector may provide some insights on how a green economy can be applied in Indonesia.

Debatably, forestry contributes to the Indonesian economy significantly and has been a significant contributor to economic growth.

In the mid-1990s, the forestry sector contributed slightly less than 4 percent of Indonesia?s gross domestic product, which in 1995 and 1996 was Rp 454 and Rp 532 trillion (about US$50 and $60 billion, subsequently). In 1995, of the 19 percent GDP growth (20 percent when oil is excluded), forestry contributed about 7 percent (about one-third of the total growth), according to the Indonesian Statistical Yearbook.

But degradation of forests is costly. The forest fires in the late 1990s cost the economy between $5 and $7 billion. Indonesia Corruption Watch estimates that Indonesia suffers losses of around Rp 14 trillion every year due to deforestation. Deforestation between 2005 and 2009 totaled 5.4 millon hectares, valued at about Rp 71.28 trillion. Illegal logging alone may cost Indonesia somewhere between $5 and $15 billion a year.

Avoiding deforestation comes at a cost, but presents a lot more benefits. Avoiding deforestation starts out at $1,800 and can go up to $2,240 per hectare by 2050. But preventing carbon emissions through the Reduction of Emissions from Deforestation and Degradation of Forests (REDD+) scheme has a significant value. Halving emissions from deforestation would cut about 1 billion tons of carbon-equivalent greenhouse gas emissions. With a $5 per ton shadow price for carbon, this means an additional income of $5 billion per year from stopping deforestation.

Some say that this might not be enough to compensate any lost income that would have been gained from exploiting forests. But carbon is not the only ecosystem service forests provide. Forests also serve as water catchment and purification areas, hubs of biodiversity, nutrients, recreation areas and others. Added together, they serve as quite a competitive economic argument against destructive and exploitative practices.

A recent study by the University of Padjadjaran in Bandung for the Environment Ministry found some very interesting results in regards to a green economy. The study ran a scenario that includes improvements in energy efficiency by 25 percent, reducing coal-based fuel use by 50 percent, reducing the rate of deforestation by 10 percent, and implementing shadow carbon tax of $50 per ton.

The result is that Indonesia would cut emissions of carbon dioxide by 177 million tons, increase its GDP by 2.7 percent (Rp 133 trillion) per year, create 3 million new jobs and reduce the number of poor people by more than 4 million per year.

If this model was put into practice, the President can be assured that his ?7/26? target will be met. A green economy is not only possible, it is the only possibility.

Source :
http://www.uncsd2012.org/index.php?page=view&nr=443&type=230&menu=39

Monday, November 12, 2012

70 persen hutan konservasi di Bengkulu rusak

Bengkulu (ANTARA News | 12/11/2012) - Kawasan hutan konservasi di Provinsi Bengkulu yang luasnya sekitar 45.000 hektare hingga saat ini 70 persen sudah rusak akibat perambahan.

Kerusakan kawasan hutan konservasi itu disaksikan Plt Gubernur Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah lewat udara, kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Anggoro Dwi Sujiarto, Senin.

"Kami bersama Plt Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah dan instansi terkait melihat kerusakan kawasan hutan itu lewat udara selama dua jam penerbangan, Minggu (11/11)," katanya.

Selama ini berdasarkan laporan di lapangan kerusakan hutan itu berkisar 40-60 persen, namun setelah dilihat lebih tinggi yaitu sekitar 70 persen.

Ia menjelaskan, kawasan hutan konservasi yang ditinjau itu ada sembilan titik dan tujuh kawasan antara lain utan buru Bukit Kabu, Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba, hutan konservasi di Lebong, hutan Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat dan TWA Pantai Panjang Kota Bengkulu.

Dari jumlah itu rusak paling tinggi terjadi di kawasan hutan buru Bukir Kabu di Kabupaten Seluma dari luas 9.036 ha rusak 75 persen antara lain oleh perambah.

Selain itu hutan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba di kabupaten Rejang Lebong dan Kepahiang dari 13.000 ha sudah rusak 45-60 persen.

Kawasan hutan paling rusak terjadi di wilayah Kabupaten Kepahiang yaitu dijadikan perambah menjadi kebun kopi dan sayuran karena ketinggiannya di atas 1.200 meter dari permukaan laut.

Demikian juga TWA pantai panjang selain di gusur untuk jalan wisata, juga dijadikan kawasan perumahan dan lapangan golf, ujarnya.

Plt Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah mengatakan untuk menekan kerusakan kawasan hutan di Bengkulu termasuk hutan konservasi antara lain memantapkan rencana tata ruang dan rencana wilayah (RTRW).

Para bupati diimbau untuk memprdakan RTRW secara baku, sehingga jelas batas kawasan hutan lindung dan hutan masyarakat.

Selain itu para perambah diimbau untuk meninggalkan lokasi sebelum tim terpadu turun ke lapangan karena bila tim sudah turun, maka akan dilakukan proses hukum, katanya.
(ANTARA)

Sumber :
http://www.antaranews.com/berita/343039/70-persen-hutan-konservasi-di-bengkulu-rusak

Masyarakat Baduy Konsisten Lestarikan Hutan

Lebak (ANTARA News  | 11/11/2012) - Masyarakat komunitas Suku Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten sangat konsisten menjaga pelestarian hutan dan lahan, kata Ketua Wadah Musyawarah Masyarakat Baduy (Wammby) Kasmin Saelani di Rangkasbitung, Minggu.

Ia mengatakan hingga saat ini masyarakat Baduy menjaga pelestarian lingkungan untuk keseimbangan ekosistem alam juga kelangsungan hidup manusia.

Hutan yang rusak akan menimbulkan banjir, longsor dan kekeringan. Karena itu, kata dia, pihaknya terus menjaga kawasan hutan Baduy agar tidak terjadi kerusakan dengan melarang penebangan pohon.

Saat ini kawasan hutan hak ulayat Baduy seluas 5.101,85 hektare sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 32 Tahun 2001 hingga kini terjaga dengan baik.

"Masyarakat Baduy tidak boleh melakukan penebangan pohon maupun perusakan hutan sebab kalau hutan itu rusak tentu akan menimbulkan malapetaka bagi manusia dan ekosistem lainnya," kata Kasmin.

Menurut dia, masyarakat Baduy yang tinggal di kawasan Gunung Kendeng berlokasi di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, merupakan sebagai hulu air wilayah Provinsi Banten.

Kawasan wilayah hulu Baduy memiliki beberapa daerah aliran sungai (DAS), di antaranya Ciujung, Cisimeut, Ciberang, dan Cimadur.

"Kami sangat komitmen menjaga pelestarian hutan dan lahan untuk mengantisipasi bencana alam," ujarnya.

Ia menyebutkan masyarakat Baduy sejak nenek moyang hingga sekarang tetap menjaga dan melestarikan lingkungan sebagai pilar kehidupan.

Bahkan, kawasan Baduy hingga kini tidak memiliki jalan aspal.

"Kami melarang warga luar memasuki hutan hak ulayat Baduy dengan membawa angkutan, seperti motor, mobil, dan truk sebab kendaraan bisa merusak hutan kawasan Baduy," katanya.

Kasmin mengatakan kepedulian warga Baduy terhadap pelestarian lingkungan sangat besar, selain menjaga hutan-hutan lindung juga melakukan penanaman berbagai jenis pohon.

Selain itu, lanjut dia, warga Baduy tidak boleh melakukan penebangan dan harus seizin lembaga adat.

"Kami sangat cinta hutan, maka menjaga dan melestarikan agar hutan tidak rusak," ujar Kasmin yang juga keturunan Baduy dan kini anggota DPRD Provinsi Banten.

Kepala Desa Kanekes yang juga tokoh adat Baduy Daenah mengatakan bahwa pihaknya tetap sangat konsisten menjaga gunung-gunung dan hutan yang ada di Provinsi Banten agar tetap terpelihara kelestarianya.

Pelestarian hutan dan gunung, kata dia, untuk menghindari dari segala bencana alam seperti banjir, longsor, dan pemanasan global.

"Kami terus mengawasi hutan dan lahan agar tidak terjadi penebangan liar yang dilakukan masyarakat luar kawasan Baduy," katanya.

Sumber :
http://www.antaranews.com/berita/342936/masyarakat-baduy-konsisten-lestarikan-hutan