Pengukuran karbon menghasilkan data karbon pada biomassa pohon. Foto oleh James Maiden/CIFOR |
Bogor (14 September 2012) Kerjasama pemerintah Indonesia dan Jerman dalam Proyek Percontohan REDD Merang (MRPP) di Sumatera Selatan, menghasilkan kontribusi penting berupa panduan “Teknik Pendugaan Cadangan Karbon Lahan Gambut”.
Publikasi ini diterbitkan gratis untuk umum dalam bentuk cetak. Perangkat lunak juga akan disediakan setelah penghitungan karbon hutan guna meningkatkan akurasi data selesai dimodifikasi. Termasuk integrasi format data Inventarisasi Menyeluruh Berkala (IHMB) dan NFI.
“Kami buat dengan sistim terbuka (open source), saling terkoneksi dengan sesama pengguna panduan ini,” kata Solichin Manuri, penulis dan peneliti utama yang sekarang bekerja pada GIZ-FORCLIME. Praktisi kehutanan, termasuk komunitas hutan yang tertarik akan proyek REDD+ juga dapat belajar sendiri menghitung potensi karbon wilayah mereka, tambahnya.
Diharapkan perangkat lunak tersebut dapat memfasilitasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk mengolah dan menganalis data-data hasil inventarisasi yang telah maupun yang akan dilakukan.
Selain itu, metode ini juga bersifat tumbuh kembang. Artinya pihak – pihak yang terlibat dalam proyek REDD+ diharapkan aktif memasukkan informasi sebanyak-banyaknya dengan memakai perangkat ini.
“Jadi makin banyak data masuk dan tersambung satu sama lain, makin kaya data yang bisa dibagikan dan digunakan bersama-sama,” kata Chandra Agung Septiadi, rekan peneliti Solichin.
Dalam publikasi ini, Agus Dwi Saputra rekan peneliti yang lain mengatakan, mereka juga membuat prosedur serta metode pengukuran cadangan inventarisasi karbon hutan. Termasuk pengembangan persamaan alometrik biomassa pohon dan perhitungan dugaan cadangan karbon hutan.
Penyempurnaan Data
Menurut Solichin, publikasi ini menampilkan metode pengukuran karbon yang lebih detil dibandingkan dengan publikasi di tahun 2009 berjudul Panduan Inventarisasi Karbon Hutan Rawa Gambut. Di publikasi terbaru ini dilengkapi dengan penjelasan teknik tentang akurasi penghitungan karbon, pengembangan persamaan alometrik hingga penghitungan total cadangan karbon di tingkat proyek.
“Tidak hanya terfokus pada teknik inventarisasi hutan, pembuatan sampling desain plot dan pengukuran parameter plot,“ katanya dan menerangkan koreksi data terbaru menyangkut
penambahan luas lahan pengukuran sampai di wilayah pemanfaatan hutan oleh pemegang ijin usaha di Areal Kerja Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. “Supaya pengusaha kayu tertarik terlibat dalam upaya pengurangan emisi di areal produksi mereka,” ujarnya lagi.
Teknik Penelitian
Menurut Chandra, pengukuran karbon hutan mirip inventarisasi hutan. “Bedanya, pengukuran karbon lebih terperinci untuk menghasilkan data karbon pada biomasa pohon,“ katanya dan menerangkan penghitungan karbon dilakukan detil mulai dari kayu, pohon mati, serasah, tumbuhan di atas dan bawah pohon dan kandungan tanahnya.
Penelitian ini dilakukan dengan cara menguji coba teknik melalui survei kedalaman gambut dan survei potensi karbon. “Kami menggunakan pendekatan Tier 3, yaitu pengukuran langsung di lokasi proyek.”
Tier adalah tingkat kerincian faktor emisi perubahan cadangan karbon. Tier 1 mengacu data global rujukan Panel Internasional Perubahan Iklim (IPCC) tidak memerlukan pengukuran di lapangan, dan Tier 2 menggunakan data-data yang diperoleh dari penelitian di tingkat nasional. “Kami ingin hasil data referensi level emisi (REL) yang lebih akurat dan kredibel,” tambah Chandra.
Penentuan REL adalah langkah pertama utama+, kata Louis Verchot, peneliti perubahan iklim dari CIFOR. “Selain berfungsi mengukur efektifitas pelaksanaan proyek REDD+, REL juga menghitung berapa besar uang yang harus dibayarkan dari kegiatan pengurangan emisi,” kata Louis.
Di dalam mekanisme insentif REDD+ pembayaran ditentukan beberapa hal. Seperti penilaian berdasarkan kinerja (pay based on performance), pemakaian standar perhitungan karbon yang absah, termasuk menentukan tingkat referensi emisi (REL).
Diadopsi menjadi salah satu contoh
Metodologi hasil Solichin dkk juga berhasil diadopsi menjadi salah satu model pengukuran dan pendugaan cadangan karbon hutan gambut oleh Kementerian Kehutanan. Keterangan ini berikan oleh Rolf Krezdorn, Direktur Program MRPP.
Ia menerangkan, metode penelitian yang dipakai Solichin dkk bersesuaian dengan Standar Nasional Indonesia (SNI), terutama mengenai pengukuran karbon dan pengembangan alometrik.
Data IHMB dan national forest inventory (inventarisasi kehutanan nasional) milik Kemenhut tersebut, kami manfaatkan untuk peningkatan jumlah plot yang berkontribusi dengan tingkat akurasi pengukuran, penjelasan dari Agus. “Jadi tidak melenceng dan berada pada jalur yang sama dengan Kemenhut,” katanya lagi.
Lokasi uji coba dilakukan di areal seluas 24 ribu hektar di kawasan hutan Merang, salah satu kawasan hutan rawa gambut yang masih tersisa di Sumatera Selatan. Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin memberikan ijin daerah ini dijadikan proyek percontohan berdasarkan kesepakatan teknis antara Kementerian Kehutanan dan Lembaga Kerjasama Internasional Jerman (GIZ) MRPP, 26 Juli 2010 lalu.
MRPP yang berakhir Desember 2011 lalu, adalah salah satu dari 44 program demonstration activity atau proyek percontohan REDD+. Kerjasama bilateral dengan Jerman dalam MRPP ini terutama berkaitan dengan pengkajian metodologi dan teknologi dalam penerapan mekanisme REDD+. (BK/CIFOR)*
Ditulis oleh: Budhy Kristanty
Sumber : http://www.redd-indonesia.org
0 comments:
Post a Comment
Silakan memberikan komentar :) terimakasih sudah berkunjung ke forestforlife.web.id