Serambi Indonesia, Kamis, 15 November 2007 ~ JAKARTA - Greenomics Indonesia meminta perbankan nasional tidak mengabulkan permohonan penghapusan kredit macet perusahaan perkebunan yang beroperasi di Aceh. Di sebut-sebut, jumlah kredit macet tersebut mencapai Rp 300 miliar.
“Permintaan penghapusan kredit macet itu tidak sensitif terhadap rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat Aceh yang masih sulit. Kita mendesak pihak perbankan jangan meladeni mereka,” tukas Ketua Program Nasional Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi kepada Serambi, Rabu (14/11), di Jakarta.
Pernyataan itu diberikan Vanda Mutia menanggapi Gabungan Perkebunan Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (Gaperda NAD) yang meminta pemotongan utang yang macet di subsektor perkebunan sebesar Rp300 miliar, seperti dilansir sebuah media nasional dua hari lalu.
Menurut Vanda, seluas 179 ribu hektar kawasan hutan di Aceh telah dibuka untuk lahan perkebunan. Tapi kebun-kebun itu kemudian ditelantarkan begitu saja setelah kayunya diambil. “Sekarang mereka malah minta penghapusan hutang. Benar-benar sebuah ironi,” tukas Vanda Mutia Dewi.
Ia mengatakan, Greenomics telah menyampaikan pandangan tersebut kepada Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dan memperoleh dukungan yang signifikan. “Kepada Pemerintah Aceh kami menyarankan membentuk tim revitalisasi perkebunan Aceh dan mencabut izin yang arealnya ditelantarkan. Rakyat Aceh butuh lahan perkebunan,” tandas Vanda.
Sebelumnya Kepala Badan Planologi Departemen Kehutanan Yetti Rusli dalam pertemuan dengan Komisi B DPR Aceh di Jakarta, menginformasikan, di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) hutan yang sudah dilepas menjadi kebun seluas 314 ribu hektar. Dari jumlah itu 233 ribu hektar sudah memperoleh izin HGU (Hak Guna Usaha). “Tapi belum semua izin HGU yang memanfaatkan izinnya dengan baik. Kita mendengar banyak yang ditekantarkan. Ini silakan dicek,” ujar Yetti Rusli yang didampingi beberapa pejabat teras Dephut.
Ketua Komisi B DPR Aceh, Hamdani Hamid mengaku gusar dengan ulah para pengusaha perkebunan yang tidak memanfaatkan lahannya sesuai dengan izin yang mereka kantongi. “Karena itu kami ingin tahu berapa sebetulnya pemegang HGU di Aceh dan berapa dari mereka yang benar-benar aktif,” ujar Hamdani Hamid.
Komisi B mengatakan sebaiknya perusahaan yang tidak aktif sebaiknya dicabut saja HGU-nya. Yetti Rusli mempersilakan Komisi B DPRA menghubungi pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) guna mendapatkan kejelasan pemegang HGU di Aceh. Dalam pertemuan tersebut Komisi B sempat mengajukan pembukaan lahan baru bagi perkebunan. “Investor banyak yang berminat di bidang perkebunan. Tapi lahannya tak mencukupi,” kata Hamdani Hamid.
Menjawab keinginan tersebut, Yetti Rusli mengatakan, lahan yang sudah tersedia saja belum diolah sesuai peruntukannya. 85 Perusahaan Dokumen yang dipublikasikan Greenomics menyebutkan, setidaknya terdapat 85 perusahaan perkebunan di Aceh dengan luas 179 ribu hektar. Tersebar di sejumlah kabupaten. Tapi sebahagaian besar dari luas areal tersebut sama sekali belum diolah. “Kita tentu prihatin dengan ulah mereka yang menelantarkan kebunnya. Sementara rakyat sangat membutuhkan lahan perkebunan,” tambah Vanda Mutia.(fik)
0 comments:
Post a Comment
Silakan memberikan komentar :) terimakasih sudah berkunjung ke forestforlife.web.id